Menguak Intrik di Balik Kejatuhan Rezim Assad: Alawiyah, Sunni, dan Tarik-Menarik Kekuasaan di Timur Tengah

Muchammad Abdur Rochman, B.A.
Necmettin Erbakan University
Department of Islamic Thought

Kejatuhan rezim Assad dan kelompok Alawiyah menandai babak baru dalam sejarah Timur Tengah yang penuh dinamika politik dan keagamaan. Kelompok Alawiyah memiliki akar sejarah di wilayah Jabal al-Ansari atau Jabal an-Nusyairi, tempat mereka awalnya bermukim. Berawal dari golongan Nusyairi yang dikenal juga sebagai pecinta Sayyidina Ali (Hz. Aliye’yi Seven), mereka membentuk keyakinan bahwa Tuhan telah termanifestasi dalam wujud manusia sebanyak tujuh kali, mencakup zaman Nabi Adam, Nuh, Ya’qub, Musa, Sulaiman, Isa, dan Muhammad. Tokoh-tokoh yang diyakini sebagai perwujudan Tuhan antara lain Habil, Syits, Yusuf, Yusa’, Asaf, dan Ali bin Abi Talib. Bahkan, dalam Kitabul Majmu’ yang diterjemahkan ke dalam bahasa Turki oleh Prof. Ahmat Turan, ditegaskan bahwa Ali bin Abi Talib dianggap esa, azali, dan Tuhan segala makhluk. Golongan ini juga meyakini reinkarnasi, bahwa ruh akan berpindah ke jasad lain setelah kematian.

Akibat keyakinan tersebut, mayoritas umat Islam Sunni menolak Alawiyah sebagai bagian dari Islam. Namun, seiring waktu, Alawiyah justru mencapai puncak kekuasaan di Suriah, terutama sejak Zaki Arsuzi berhasil memasukkan ideologinya ke dalam Partai Baath pada tahun 1950-an. Puncaknya adalah ketika Hafez al-Assad, seorang Alawiyah, menjadi presiden Suriah pada tahun 1971. Sebelum kemerdekaan, Alawiyah hidup dalam kondisi ekonomi rendah di Latakia, namun melalui Partai Baath mereka menguasai politik Suriah dan memperdalam ketegangan dengan mayoritas Sunni yang merasa terpinggirkan.

Di ranah domestik, rezim Assad harus menghadapi mayoritas Sunni yang terbagi dalam berbagai sayap politik, mulai dari Partai Kurdi hingga Jabhat al-Nusra, yang kemudian berubah menjadi Hay’at Tahrir al-Sham (HTS). Selain itu, konflik juga muncul dengan kelompok Syiah lain seperti Ismailiyah, dan etnis Kurdi yang ingin memisahkan diri dari Suriah. Secara regional, Suriah bersekutu dengan Iran dan Rusia, tetapi berseberangan dengan Arab Saudi dan Ikhwanul Muslimin. Iran sendiri berambisi agar Suriah tetap dipimpin kelompok Syiah demi mengamankan teritorial serta menjadikannya jembatan strategis antara Iran dan Lebanon untuk mendukung agenda Hezbollah di Irak dan Lebanon.

Kehancuran rezim Assad yang berhaluan Syiah Alawiyah menjadi angin segar bagi Arab Saudi dan negara-negara Teluk seperti Qatar, yang selama ini merasa terancam oleh penyebaran paham Syiah di kawasan. Meski sama-sama etnis Arab, perbedaan teologis menciptakan dukungan bagi upaya melemahkan rezim Assad dan membatasi pengaruh Iran di Timur Tengah. Dalam konteks ini, Turki, yang secara historis (melalui Kesultanan Utsmani) pernah memerangi Dinasti Safawiyah yang Syiah, berada dalam posisi sensitif. Meskipun Kesultanan Utsmani menganut akidah Sunni bercorak Maturidi, kondisi saat ini menjadi lebih kompleks, mengingat sekitar 15% penduduk Turki saat ini menganut paham Alevi. Meski demikian, politik Sunni di Turki diprediksi tetap akan menjadi aktor utama di wilayah Asia Kecil.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *