Tradisi Lisan, Kepemimpinan, dan Polemik Awal Islam: Refleksi atas Al-Qur’an dan Praktik Sahabat

Artikel yang ditulis Asma Afsarudin berjudul “The First Muslim”, menunjukkan bahwa tradisi transmisi pengetahuan pada awal Nabi Muhammad adalah dengan lisan atau oral. Hal ini berdasarkan kepada wahyu pertama  Q.S. 96: 1-5 yang turun saat Nabi Muhammad berada di Gua Hira yang berbunyi pada ayat pertama yaitu “iqra/ recite/read. Pada periode awal keislaman al-muhajirun al-awwalun dan al-sabiqun al-awwalun melaksanakansumpah yang dinamakan bayt al-ridwan atau dikenal juga dengan ikrar pohon (bayt al-syajara) sebagai respon atau resepsi terhadap  Q.S. 9:100. Pemahaman ini diambil dari mufasir bernama Muhammad Ibn Jarir ath-Thabari dan ditambah dengan teks hadis yang berbunyi “tidak seorang pun dari mereka yang bersumpah setia di bawah pohon akan masuk neraka”. Jadi perjanjian yang disebut dengan ikrar pohon (bayt al-syajara) adalah bentuk praktik dari Q.S. 9:100.

Umat Islam memandang Nabi Muhammad sebagai representasi al-Qur’an, bahkan dikenal dengan sebutan al-Qur’an berjalan. Mulai dari tutur bicara, penampilan, perilaku-perilaku, dan sebagainya menjadi suri tauladan yang selalu dijadikan teladan bagi umatnya. Adapun pendapat ‘Amr ibn Bahr al-Jahiz sebagaimana dikutip oleh Asma Afsarudin mengatakan bahwa titik awal persoalan kepemimpinan berasal dari peristiwa Abu Bakar yang menjadi khalifah, karena didasari pada Q.S. 4:90, bahwa Umar menyatakan ayat tersebut mengimpersonasikan Abu Bakar dengan segala sifat kejujuran, kesetiaannya kepada Nabi sebagai pengganti (khalifah) yang paling berkompeten di antara muslim lainnya. Lalu kemudian, munculah polemik alih kepemimpinan menjadi isu panas kala itu, baik dari pendukung Abu Bakar maupun pendukung Ali yang dikenal dengan Syi’ah (baca: kelompok) yang saling lempar argumentasi mengenai yang berhak menggantikan tahta kepemimpinan Nabi Muhammad membuat masing-masing kubu merespon al-Qur’an. Syi’ah menyatakan kekerabatan hubungan darah harus menjadi pertimbangan. Ibnu Abi al-Hadid menjelaskan bahwa pra-Islam sangat menjunjung tinggi leluhur, rigiditas pengagungan keturunan (nasab) menjadi pusat. Seorang yang memiliki wibawa dan kedudukan tinggi ketika dirinya memiliki keturunan yang baik, walaupun dia tidak terlalu melakukan kebaikan-kebaikan.

Lebih lanjut Ibnu Abi al-Hadid mengomentari pandangan seperti ini bertolak belakang dengan al-Qur’an yang berprinsip bahwa kebaikan dan kesalehan individu mampu membangun moral dan status sosial. Sarjana Mamluk abad ke-14 Ibn Taymiyya (wafat 1328 H), berkomentar bahwa membuktikan sifat luar biasa dari persahabatan Abu Bakar (suhba) dan membuktikan keunggulannya yang tak tertandingi atas para Sahabat lainnya karena peran yang dia mainkan selama hijrah dari Mekkah ke Madinah. Sebuah peristiwa ketika Umar bin Khathab yang sebelum masuk Islam dikenal sebagai musuh Islam paling gencar memerangi Islam dan Nabi Muhammad. Suatu saat Umar mendapat informasi bahwa saudarinya bernama Fatima dan suaminya telah mengikuti ajaran Nabi Muhammad. Saat itu Fatima dan suaminya sedang membaca al-Qur’an lewat bimbingan Khabbab. Setelah sampai di rumah Umar memukul keduanya, sedangkan Khabbab telah sembunyi dari Umar.

Sebagaimana mengutip dari Ibnu Hisyam selanjutnya Umar membaca beberapa kutipan al-Qur’an dan berkata “sungguh indah dan mulianya ungkapan/ayat ini”. Setelah mendengar ini Khabbab keluar dari persembunyiannya dan mengatakan kata-kata. Ketika Khabbab mendengar ini, dia keluar dari tempat persembunyiannya dan berkata: “‘Umar, aku berharap Tuhan telah memilihmu melalui doa-Nya Nabi, yang kemarin saya dengar berdoa: ‘Ya Tuhan, perkuat Islam dengan Abu Hakam putra Hisham atau dengan’ Umar putra Khattab! ‘” Ya Khabbab,” kata ‘Umar, “Di manakah Muhammad sekarang, sehingga saya dapat pergi kepadanya dan masuk Islam.”

Peristiwa ini menjadi praktik resepsi yang dilakukan oleh Umar terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang dibacanya. Ath-Thabari melaporkan bahwa ‘Umar meyakinkan dan menyatakan kepada Nabi Muhammad bahwa praktik hijab yang tertera dalam Q.S. 33:53 harus direalisasikan atau diamalkan. Hijab pada kasus ini tidak mengacu pada pakaian pribadi, tetapi untuk tirai atau semacam penghalang.  

Muhammad Abduh berpendapat bahwa umat Islam pada masanya harus seperti komunitas awal para tetua yaitu umat Islam. Di samping itu Rasyid Rida pun mengatakan bahwa kebangkitan Islam akan terjadi dengan mengikuti al-Qur’an, Sunnah yang benar dan bimbingan dari para Ulama sholeh. Pandangan yang sama datang dari Abu Hanifah yang memberikan nasihat’ “Ikuti tradisi dan cara salaf dan waspada terhadap hal-hal baru (bid’ah) karena semua itu merupakan penyimpangan dari norma”. Jadi perkembangan pengetahuan harus berporos kepada umat Muslim awal agar terhindar dari penyimpangan-penyimpangan.

Pada fase lebih mutaakhir, Islam mengalami perpecahan pemikiran yaitu Islam Radikal yang sebagian besar meruju kepada Sayyid Quthub, Islam moderat, dan Islam modernis yang identik dengan Sayyid Ahmad Khan. Islam radikal atau garis keras dikenal sebagai Islam yang sangat literal dan tekstual dalam berbagai permasalahan khususnya hukum. Sedangkan modernis tidak literal, melainkan mengelaborasikan antara teks dan konteks. Menurut penulis pergolakan antara radikal dan modernis, serta moderat akan terus mengalami gesekan bahkan polemik di antara mereka. Hal ini berdasarkan kepada sikap masing-masing partisipan kelompok memiliki pandangannya sendiri serta seringnya memaksakan subjektivitasnya dibenarkan oleh kelompok lain.

Tulisan ini  secara sederhana menggambarkan bagaimana tradisi lisan berperan penting dalam transmisi pengetahuan Islam pada masa Nabi Muhammad, terutama dalam penyampaian wahyu dan pelaksanaan praktik keagamaan seperti bai’at di bawah pohon sebagai implementasi Al-Qur’an. Polemik mengenai suksesi kepemimpinan pasca Nabi menunjukkan perbedaan pandangan antara pendukung Abu Bakar dan Ali, dengan masing-masing pihak merujuk pada Al-Qur’an untuk memperkuat argumen mereka. Interaksi sahabat Nabi dengan ayat-ayat Al-Qur’an, seperti yang dialami Umar bin Khattab, mencerminkan kekuatan spiritual dan transformasi moral yang dihasilkan oleh wahyu.

 Ditambah sedikit persinggungan terkait dinamika pemikiran Islam terus  mengalami dinamis tidak statis, mulai dari pandangan salaf yang menekankan kelestarian pada tradisi awal (salafi) hingga modernisme yang mencoba mengontekstualisasikan teks, sementara pergolakan antara pandangan radikal, moderat, dan modernis tetap menjadi bagian dari khazanah sejarah Islam. Penulis menekankan pentingnya umat Islam masa kini merujuk kepada tradisi awal yang dicontohkan para sahabat, sambil tetap memperhatikan fenomena sosio-kultural-politik masa sekarang hingga masa berikutnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *