
Andi Aulia Khairunnisa
Maliye Yüksek Lisans (Public Finance)
Bolu Abant Izzet Baysal Üniversitesi
(Sumber Gambar: Riska Dwinda Elsyah)
Kenaikan nilai tukar rupiah yang melampaui Rp17.000 per dolar AS seharusnya menjadi momen refleksi yang serius, bukan sekadar penjelasan dangkal bahwa ini hanya dampak dari kondisi global. Banyak pihak cepat mengalihkan tanggung jawab kepada The Fed, situasi geopolitik di Timur Tengah, dan fluktuasi harga komoditas. Namun, sudahkah kita cukup jujur untuk mengakui bahwa banyak masalah berasal dari dalam negeri?
Pelemahan rupiah bukanlah fenomena yang tiba-tiba. Ini adalah hasil dari kebijakan ekonomi yang tidak konsisten, populisme fiskal, dan ketidakmampuan untuk memahami dinamika global dengan baik.
Mengapa Rupiah Melemah? Lebih dari Sekadar Dolar yang Kuat
- Dolar yang Kuat adalah Kenyataan, tetapi Strategi yang Lemah adalah Pilihan
Memang benar bahwa dolar AS sedang menguat karena The Fed mempertahankan suku bunga tinggi. Namun, jika kita melihat negara-negara berkembang lain seperti India, Vietnam, dan Brasil, mereka tidak mengalami pelemahan yang sama parahnya. Mengapa demikian? Karena mereka memiliki manajemen ekonomi makro yang lebih disiplin.
Masalah kita bukan hanya karena suku bunga yang tinggi, tetapi juga karena reaksi dan persiapan kita yang kurang memadai. Indonesia terlalu bergantung pada investasi portofolio yang bersifat sementara, seolah membangun fondasi di atas pasir.
- Populisme Fiskal: Mewah di Tengah Utang
Pemerintahan baru mengusulkan program ambisius yang bisa menguras anggaran hingga Rp460 triliun per tahun. Di atas kertas, ini terlihat baik, tetapi pasar lebih memperhatikan keberlanjutan. Dari mana dana tersebut akan berasal? Apakah kita akan berutang lagi? Ketika pertanyaan ini tidak terjawab, investor akan pergi. Kepercayaan adalah aset yang lebih berharga daripada rupiah itu sendiri.
- Ekspor yang Mandek dan Devisa yang Hilang
Satu hal yang jarang dibahas adalah meskipun ekspor meningkat, hasilnya tidak kembali ke Indonesia. Banyak eksportir lebih memilih menyimpan hasilnya di luar negeri. Mengapa? Karena regulasi yang longgar dan insentif yang minim. Meskipun pemerintah baru-baru ini mewajibkan penyimpanan devisa di dalam negeri, ini hanya solusi sementara. Seharusnya, ini menjadi strategi jangka panjang yang diterapkan bertahun-tahun lalu.
- Konsumsi Lesu, tetapi Belanja Pemerintah Tetap Tinggi
Di sisi lain, konsumsi rumah tangga yang menjadi motor pertumbuhan mulai melambat. Badan Pusat Statistik bahkan mencatat adanya tekanan deflasi untuk pertama kalinya dalam 25 tahun. Namun, belanja pemerintah tetap agresif. Ini menciptakan kontradiksi: saat masyarakat menahan pengeluaran, pemerintah justru mengeluarkan uang secara besar-besaran.
Dampak Berantai: Dari Pasar hingga Masyarakat
Pelemahan rupiah membuat biaya impor semakin tinggi. Kita tahu bahwa Indonesia masih bergantung pada impor untuk BBM, pangan, dan bahan baku industri. Ini berarti inflasi akan segera menghantui kita. Harga naik, daya beli menurun, dan yang paling dirugikan adalah masyarakat kelas bawah dan menengah.
Lebih parah lagi, utang luar negeri, baik pemerintah maupun swasta, menjadi lebih mahal untuk dilunasi. Pembayaran bunga dan cicilan meningkat, dan anggaran negara bisa jebol hanya untuk membayar bunga pinjaman, bukan untuk pembangunan.
Investor asing pun mulai khawatir. Ketika nilai tukar tidak stabil, investasi jangka panjang menjadi kurang menarik. Mereka akan lebih memilih negara yang lebih stabil.
Apa yang Bisa Dilakukan Pemerintah?
Saya berpendapat bahwa saatnya pemerintah keluar dari zona nyaman dan berhenti memberikan janji-janji kosong. Kita memerlukan tindakan nyata:
- Konsolidasi Fiskal Total
Hentikan sementara program yang tidak mendesak, terutama yang berbiaya tinggi. Fokus pada stabilitas terlebih dahulu. Negara tidak bisa berperan ganda sebagai penyelamat ekonomi dan “Santa Claus” sekaligus.- Membangun Ketahanan Ekonomi yang Nyata
Diversifikasi ekspor, industrialisasi berbasis nilai tambah, dan substitusi impor harus menjadi prioritas. Ini bukan sekadar jargon kampanye atau bahan pidato.- Reformasi Kebijakan Devisa
Jangan hanya mengeluarkan “imbauan” agar devisa disimpan di dalam negeri. Buatlah aturan yang tegas dan insentif yang menarik. Negara seperti China dan Korea Selatan telah melakukan ini sejak lama.- Perbaiki Iklim Investasi dan Stabilitas Hukum
Kepastian hukum dan kebijakan yang konsisten adalah kunci. Investasi memerlukan stabilitas, bukan kejutan.Kesimpulan: Saatnya Bangkit dari Tidur Panjang
Pelemahan rupiah adalah cerminan dari kebijakan ekonomi yang gagal memahami tantangan zaman. Kita memasuki era ekonomi global yang semakin kompetitif, dan tidak bisa dihadapi dengan program populis semata.
Saatnya kita bangkit dari ketidakpedulian, karena nilai tukar rupiah adalah indikator yang jujur dari pasar yang mengatakan: “Indonesia, ubahlah strategimu atau bersiaplah menghadapi krisis yang kamu ciptakan sendiri.”
Referensi:
- CNN Indonesia. (2025). Rupiah Tembus Rp17.000 per Dolar AS, Apa Penyebabnya? https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20250401/rupiah-tembus-rp17000
- Financial Times. “Indonesia’s Populist Budget Plan Raises Fiscal Concerns.” https://www.ft.com/content/986ac991
- Reuters. “Bank Indonesia Intervenes Aggressively.” https://www.reuters.com
- Kabar Bursa. “Rupiah Melemah, Tekanan Global dan Dinamika Kebijakan AS Jadi Pemicu.” https://kabarbursa.com
- Sari, R. A., & Prabowo, H. (2023). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar AS. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, 12(1), 45-60.
- Kompas. (2025). Dampak Rupiah Tembus Rp17.000 Terhadap Ekonomi. https://www.kompas.com/ekonomi/read/20250401/rupiah-tembus-rp17000
- Prasetyo, E. (2025). Analisis Penyebab Pelemahan Rupiah di Tengah Ketidakpastian Ekonomi Global. Jurnal Ekonomi dan Keuangan, 20(1), 75-90.
(Web Editing by : Desi Gustiani)