PRESS RELEASE DIKSI – I

PUSPITUR Gelar Diskusi DIKSI #1: “Perang Dagang Trump Jilid II: Apa Dampaknya pada Dunia?”
Sabtu, 12 April 2025 | Zoom Meeting | 17.00–19.00 TRT

Ankara – Pusat Studi PPI Turki (PUSPITUR) resmi memulai rangkaian diskusi akademiknya melalui program DIKSI #1 yang diselenggarakan pada Sabtu, 12 April 2025, dengan tema “Perang Dagang Trump Jilid II: Apa Dampaknya pada Dunia?”. Acara ini menghadirkan kolaborasi lintas benua dengan menggandeng Permias National, organisasi pelajar Indonesia di Amerika Serikat, sebagai mitra diskusi.

Diskusi yang berlangsung selama dua jam ini dimoderatori oleh tim dari PUSPITUR dan dihadiri oleh mahasiswa, akademisi, serta profesional dari berbagai latar belakang, baik dari Turki, Amerika Serikat, maupun negara lainnya.

Sambutan Pembuka: Menghubungkan Isu Global dengan Visi Pelajar Indonesia

Ketua PPI Turki, Naura, dalam sambutannya menyampaikan bahwa diskusi ini tidak hanya membahas teori ekonomi politik, tetapi juga bagaimana kebijakan-kebijakan global seperti perang dagang Amerika Serikat dapat berimplikasi luas terhadap sektor-sektor kehidupan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Ia juga menekankan pentingnya membangun koneksi antar pelajar Indonesia di berbagai negara, sejalan dengan visi PPI Turki: Berdaya, Berkarya.

Sementara itu, Presiden Nasional Permias, Felice Pudya, menyoroti bahwa isu perdagangan internasional yang dibawa oleh Presiden Donald Trump merupakan hal yang sangat aktual dan berdampak pada aspek ekonomi secara luas. Ia mengajak seluruh peserta untuk turut aktif menggali dampak dan strategi adaptasi yang relevan dengan konteks masing-masing negara.

Paparan Pemantik: Membedah Strategi dan Implikasi Tarif Trump

Diskusi diawali dengan pemaparan dari dua pemantik utama:

  1. Ayi, sebagai pemantik pertama, memaparkan bahwa kebijakan tarif yang diterapkan oleh Trump bertujuan menjadikan ekonomi AS lebih mandiri. Ia menekankan bahwa kebijakan ini muncul karena adanya defisit neraca perdagangan AS yang dianggap merugikan. Tarif tinggi yang dikenakan kepada berbagai negara, termasuk Indonesia, berpotensi mengancam sektor ekspor industri padat karya yang sangat bergantung pada pasar Amerika. Produk Indonesia bisa menjadi tidak kompetitif di pasar AS, dan ini bisa berdampak pada pemangkasan produksi, bahkan PHK massal.

Selain itu, Ayi juga menunjukkan bahwa tarif digunakan tidak hanya sebagai instrumen ekonomi, tetapi juga sebagai alat politik untuk memperkuat posisi tawar AS di percaturan global. Dalam konteks ini, langkah-langkah seperti diplomasi bilateral dan diversifikasi pasar menjadi penting untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap pasar AS.

  1. Axel Hutapea, sebagai pemantik kedua, mengangkat dimensi historis dan struktural dari tarif perdagangan. Ia menyatakan bahwa tarif bukan hal baru, namun intensitas dan cakupannya di era Trump jauh lebih besar. Axel juga mengkritisi logika defisit perdagangan sebagai musuh, karena dalam kerangka ekonomi nasionalistik, defisit tidak selalu buruk. Ia menambahkan bahwa kebijakan tarif ini memperlihatkan adanya ketidakseimbangan kekuasaan dalam proses legislasi di AS, karena kebijakan tarif seharusnya merupakan kewenangan kongres, namun kini berada di tangan presiden melalui hak prerogatif.

Axel menggarisbawahi bahwa kebijakan tarif ini menimbulkan ketidakpastian, melemahkan kredibilitas kebijakan ekonomi AS, dan bisa berakibat pada munculnya poros-poros ekonomi baru di dunia. Ia juga menyatakan bahwa UMKM akan menjadi sektor yang paling rentan terhadap dampak perang dagang ini.

Diskusi Interaktif: Antara Strategi Global dan Realitas Lokal

Sesi tanya jawab berlangsung aktif dengan berbagai pertanyaan strategis. Darmawan Wicaksono mempertanyakan kesiapan AS untuk memulangkan proses industrialisasi ke dalam negeri secara nyata, sedangkan Satrio membandingkan strategi Trump di masa jabatan pertama dan kedua, serta kemungkinan “endgame” dari kebijakan proteksionis ini.

Ghazi Agam menyoroti dampak terhadap komoditas ekspor utama Indonesia seperti sawit, serta bagaimana diversifikasi pasar ke negara-negara seperti Turki bisa menjadi solusi. Ayi menanggapi dengan data bahwa sektor sawit memang krusial, namun terdapat tantangan dalam regulasi dan penerimaan pasar baru. Hal ini juga dipertegas oleh Axel yang menyebut shifting market bukan solusi jangka pendek karena logistik dan regulasi yang kompleks di negara-negara alternatif.

Andi Syarifin dan Aida Nurul memberikan perspektif yang unik, masing-masing dari sudut pandang ketimpangan struktur kekuasaan global dan dampak langsung terhadap ketersediaan bahan laboratorium dari AS. Axel menutup sesi dengan menegaskan pentingnya membangun lembaga keuangan regional dan mendorong lompatan kelembagaan (institutional jump) bagi ASEAN agar dapat menjadi kekuatan ekonomi alternatif yang nyata.

Penutup: Wadah Reflektif untuk Menyikapi Dinamika Global

Diskusi ditutup dengan harapan bahwa program DIKSI dapat menjadi wadah reflektif dan produktif bagi pelajar Indonesia untuk memahami isu-isu global secara lebih kritis dan multidisipliner. Program ini akan menjadi agenda rutin PUSPITUR dalam upaya memperkuat kapasitas intelektual dan jejaring pelajar Indonesia di Turki dan dunia. Melalui kegiatan seperti ini, PUSPITUR terus berkomitmen untuk menghadirkan ruang-ruang dialog akademik dan kebijakan publik, sebagai bagian dari kontribusi pelajar Indonesia dalam dinamika global.

Redaksi by Aulia Fatimaz Zahra

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *