(ilustrasi dari britishmuseum.org)
Muhammad Luthfi
İlahiyat
İbrahim Çeçen Universitesi
Nama Janissary cukup dikenal oleh masyarakat Indonesia, terutama melalui berbagai film bertema sejarah. Pasukan elit ini terkenal karena kedisiplinan dan profesionalisme mereka, yang menjadikan mereka sebagai salah satu kekuatan militer paling disegani di dunia Islam dan bahkan ditakuti oleh kekuatan besar Eropa. Akan tetapi, masih banyak yang belum mengetahui asal-usul mereka serta peran signifikan yang mereka mainkan dalam dinamika politik internal Kekaisaran Utsmaniyah. Peran ini, yang semula memperkuat posisi mereka, pada akhirnya justru berubah menjadi salah satu faktor utama kemunduran dan disolusi mereka di bawah perintah Sultan Mahmud II.
Menurut catatan Peter Sugar, sepanjang keberadaannya, korps Janissary telah merekrut sekitar 200.000 budak Kristen (Barkey, 2008, p. 124), sebuah angka yang menunjukkan betapa masifnya pengaruh dan jaringan institusi ini. Para rekrutan tersebut tidak hanya ditempatkan dalam struktur militer, tetapi juga menyebar luas dalam birokrasi dan pemerintahan Utsmaniyah, mengisi berbagai posisi penting di luar medan perang. Karl Barbir menyebut fenomena ini sebagai proses “dari Pasha menuju Efendi” (Barbir, 1980, p. 56), yakni transisi sosial yang memungkinkan para mantan budak mencapai status elite dalam masyarakat Utsmaniyah melalui jalur militer dan administratif.
Lebih jauh lagi, Kekaisaran Utsmaniyah sering dijadikan contoh ekstrem tentang bahaya masyarakat pra-modern, ketika nilai-nilai militeristik mendominasi kehidupan sipil. Dalam struktur semacam ini, warga sipil memiliki ruang terbatas untuk berkembang, dan institusi-institusi non-militer menjadi subordinat. Ketergantungan terhadap struktur militer bukan hanya memperkuat status quo yang kaku, tetapi juga memperlambat laju inovasi dan adaptasi yang sangat diperlukan untuk menjawab tantangan zaman. (Aksan, 2013, p. 45). Tulisan ini akan membahas secara historis dan analitis bagaimana institusi Janissary, yang pada awalnya dibentuk sebagai perisai dan alat legitimasi sultan terhadap kekuatan lokal, perlahan berubah menjadi institusi konservatif yang menentang reformasi. Dari pasukan elit yang dibanggakan, Janissary akhirnya menjadi ancaman laten bagi stabilitas internal Kekaisaran. Melalui pendekatan historis-kritis, kita akan melihat dinamika transformasi ini, dari fondasi awal mereka hingga kehancuran final pada tahun 1826.
Perisai Sultan
Pada periode awal ekspansi, Dinasti Utsmani mengandalkan penunggang kuda nomaden dari suku-suku Turki sebagai angkatan perang mereka (Barkey, 2008, p. 50). Para kesatria Turkmen ini memiliki keunggulan dalam hal mobilitas dan kemampuan gerilya, serta memberi tekanan psikologis yang besar kepada musuh. Namun, seiring dengan meluasnya cakupan wilayah kekuasaan dan semakin kompleksnya struktur pemerintahan, kelemahan mendasar dari model militer tradisional ini mulai terlihat, khususnya terkait dengan kedisiplinan dan kontrol komando. Menanggapi kebutuhan tersebut, Sultan Orhan, yang dikenal sebagai sultan pertama yang melakukan pengepungan kota besar, mulai memikirkan pembentukan angkatan bersenjata baru yang lebih terorganisir dan berada langsung di bawah kendali pusat (Gibbons, 1916, p. 117).
Angkatan bersenjata itu bernama Janissary, atau Yeniçeri dalam bahasa Turki Utsmani, yang berarti pasukan baru (Shaw, 1977, p. 26). Sebenarnya, ada perbedaan pendapat terkait dengan pendirian Janissary, mayoritas sejarawan seperti Standford Shaw dan Finkel mengatakan bahwa Sultan Murad I-lah yang mendirikan Janissary di tahun 1362 (Fikel, 2005, p. 91), tapi Karen Barkey dan Adams Gibbons mengemukakan pendapat lain, bahwa Sultan Orhan adalah yang pertama kali membentuk Janissary (Barkey, 2008, p. 53). Gibbons menyebutkan dalam bukunya, The Foundation of The Ottoman Empire bahwa Janissary adalah angkatan bersenjata yang didirikan oleh Sultan Orhan sebagai pengawal yang direkrut dari tahanan perang pasukan kristen dan dididik untuk bertugas melindungi pengampu kekuasaan Dinasti Utsmani. Konsep yang sama dengan Mamluk, sebuah sistem perekrutan budak laki-laki muda Turki yang dikenal luas penggunaannya sejak era Khilafah Abbasiyah (Gibbons, 1916, p. 118). Tidak lama setelah pendiriannya, Angkatan bersenjata ini langsung menjadi andalan sultan dalam berbagai pertempuran. Hal ini dipengaruhi oleh banyak hal, beberapa di antaranya adalah loyalitas penuh mereka kepada sultan karena mereka diberi upah langsung dari perbendaharaan negara, tidak seperti Akıncı atau penunggang kuda Turkmen yang mengandalkan harta rampasan dan independen dalam pergerakannya. Kedua, Janissary selalu diberi teknologi mutakhir dalam persenjataan mereka, seperti senjata api (İnalcık, 1973, p. 122), di saat angkatan bersenjata Utsmani lainnya masih menggunakan pedang dan panah (Shaw, 1977, p. 46). Ketiga, Janissary adalah angkatan bersenjata tetap pertama dalam sejarah eropa (İnalcık, 1973, p. 44). Sampai-sampai bangsa eropa dibuat kagum oleh profesionalitas mereka yang tiada tanding.
Awal Pengkhianatan
Selain itu, pembentukan Janissary sebagai Angkatan bersenjata yang didominasi oleh mantan pemeluk agama kristen, berada langsung di bawah komando sultan, diupah dari perbendaharaan pusat menguatkan posisi sentral sultan dalam menyeimbangi kekuatan dinasti-dinasti lokal yang tersebar di wilayah Utsmani. Oleh karena itu, apabila seorang sultan ingin mengonsolidasi pengaruhnya dalam skala nasional, ia hanya perlu meningkatkan jumlah pasukan Janissary sebagai tandingan dari dinasti lokal (İnalcık , 1973, p. 57), biasanya dilakukan oleh Sultan yang memiliki kebijakan sentris. Seperti yang dilakukan oleh Sultan Mehmet II, Ia menambahkan jumlah pasukan Janissary dari 5.000 ke 10.000 personel dan mengirimkan pasukan Akıncı ke wilayah perbatasan agar mereka sibuk dengan musuh negara (Barkey, 2008, p. 77). Lalu, ada Sultan Selim I yang membangun sekolah militer khusus Janissary di Galatasaray (Shaw, 1977, p. 85), atau Sultan Süleyman I yang mengirimkan Janissary di kota Buda setelah ia mengalahkan Pangeran Zapolya dari Hungaria (İnalcık, 1973, p. 93). Sayangnya, kontrol penuh sultan atas Janissary menjadi bumerang bagi sultan itu sendiri. Janissary diberi akses langsung terhadap lingkaran kekuasaan karena tugas mereka, yaitu melindungi sultan. Akan tetapi, hal ini juga berarti bahwa setiap sultan yang ingin berkuasa, atau setidaknya sedang berebut kekuasaan, harus mendapatkan dukungan dari Janissary (Hathaway, 2008, p. 64). Peristiwa ini pertama kali terjadi dalam perang saudara Utsmani, atau yang biasa dikenal sebagai Interregnum, dimana Sultan Murad II -waktu itu berkedudukan sebagai pangeran- memberontak kepada pamannya Mustafa atas dukungan para Ulama dan Janissary di tahun 1422 (İnalcık, 1973, p. 58). Tidak cukup sampai disitu, ketika Sultan Murad II memutuskan untuk pensiun dan Sultan Mehmet II naik takhta di umur 14 tahun, Janissary tidak terima dan memberontak, hingga akhirnya memaksa Sultan Murad II untuk kembali memangku kekuasaan di tahun 1446 (İnalcık, 1973, p. 63).
Sebab Pengkhianatan
Pengkhianatan Janissary dapat kita telusuri asal usulnya dari penemuan benua amerika oleh penjelajah eropa dan sistem ekonomi utama Kekaisaran Utsmaniyah, yang disebut Timar. Adapun Sistem Timar, adalah sebuah sistem pembagian tanah kepada Sipahi atau pasukan kavaleri Utsmani sebagai upah, dimana mereka diperkenankan untuk mengambil pajak penghasilan tanah tersebut tanpa memilikinya. Sistem ini hanya diperuntukkan bagi Sipahi tanpa Janissary (Shaw, 1977, p. 90). Peraturan ini ditetapkan agar Janissary tetap bergantung dengan upah negara (Aksan, 2013, p. 18) dan demi terhindarnya monopoli dan pembentukan dinasti lokal. Yang mana Sipahi juga terdampak oleh peraturan ini. Mereka dirotasi dalam periode tertentu dan tidak menetap di tanah tertentu. Di saat yang sama, perak dari Meksiko membludak di pasar eropa dan juga mediterania, mempengaruhi ekonomi Kekaisaran Utsmani secara langsung (İnalcık, 1973). Di saat yang bersamaan, jumlah Janissary yang terus meningkat memberikan beban tersendiri bagi perbendaharaan negara (Aksan, 2013, p. 39). Banyak dari keluarga muslim berupaya menyuap pegawai pemerintah untuk memasukkan anaknya ke dalam Janissary, yang mana harusnya Janissary hanya diperuntukkan bagi anak pemeluk kristen (Barkey, 2008, p. 124).
Pengkhianatan
Dari sini, janissary kehilangan status «spesial»nya dan semakin membebani perbendaharaan negara. Situasi ini diperparah oleh banyaknya Janissary di pelosok daerah -khususnya yang ditugaskan jauh dari jangkauan ibukota- yang mulai terjun dalam kegiatan bermasyarakat seperti berdagang, kepemilikan tanah, dan politik. Hal ini menyebabkan mereka meninggalkan tugas militer, yaitu sebagai penyeimbang dinasti lokal (Shaw, 1977, p. 108). Disebutkan bahwa pada akhir eksistensi Janissary, di era Sultan Mahmud II, dari 400.000 Janissary yang tercatat, ada 60.000 anggota yang berdagang dan bekerja di pemerintah. Sedangkan hanya ada 25.000 Janissary saja yang siap bertempur (Shaw, 1977, p. 261).
Tidak cukup sampai situ, Janissary yang ditugaskan di ibukota juga mendominasi peta perpolitikan istana, khususnya jabatan Wazir Agung. Terhitung selama masa dominasi Janissary di abad ke-15 sampai ke-17, 42 dari 47 Wazir Agung Kekaisaran Utsmaniyah berasal dari kalangan Janissary (Barkey, 2008, p. 124).
Selain itu, banyak dari Wazir Agung yang berasal dari Janissary, seperti Çandarlı Kara Halil Pasha yang menimbung uang perbendaharaan negara sehingga memperparah kondisi keuangan negara yang sudah buruk (Shaw, 1977, p. 119). Pada akhirnya, korps Janissary semakin mengakar dalam berbagai aspek masyarakat Utsmani; baik ekonomi, politik, birokrasi, militer, dll. Mereka mendapatkan posisi yang nyaman dalam struktur sosial yang ada sehingga mengakibatkan mereka bersikap anti terhadap reformasi pengganggu status quo yang menguntungkan mereka (Barkey, 2008, p. 195). Puncaknya adalah ketika Ulama dan Janissary sering kali berkoalisi untuk menantang Sultan sepanjang abad ke-18 (Barkey, 2008, p. 216). Contohnya, sultan Selim III yang diangkat dan dilengserkan beberapa kali, tergantung dari dinamika politik yang ada, khususnya dukungan Janissary. Oleh karena itu, pada 15 Juni 1826, Sultan Mahmud II selaku penerus Sultan Selim III memutuskan untuk membubarkan korps Janissary.
Kesimpulan
Pembubaran Janissary bukan hanya sekadar reformasi militer, melainkan perombakan total terhadap struktur sosial, ekonomi, dan politik masyarakat Utsmani (Aksan, 2013, p. 4). Janissary yang awalnya dirancang sebagai perisai sultan dan simbol supremasi negara atas kekuatan lokal, justru berubah menjadi institusi konservatif yang menghambat kemajuan dan mempertahankan status quo demi kepentingan diri mereka sendiri. Transformasi ini menunjukkan bagaimana lembaga yang lahir dari niat baik—yaitu stabilitas dan loyalitas mutlak kepada penguasa pusat—dapat membusuk ketika tidak dikendalikan dengan prinsip meritokrasi dan pengawasan ketat. Tragedi Janissary menjadi cermin bagi setiap kekuasaan yang gagal menyeimbangkan antara otoritas dan reformasi; bahwa kekuatan yang tidak diatur, sebesar apapun jasanya di masa lalu, pada akhirnya akan menelan negara yang membesarkannya. Dalam konteks ini, pembubaran Janissary oleh Sultan Mahmud II bukan hanya sebuah tindakan represif, melainkan keputusan historis yang menyelamatkan negara dari belenggu kekuatan lama yang tak lagi relevan dengan tuntutan zaman.
Referensi
Aksan, Virginia H. (2007). Ottoman Wars 1700-1870: An Empire Besieged. New York: Taylor & Francis.
Barkey, Karen (2008). Empire of Difference: The Ottoman in Comparative Perspective. Cambridge: Cambridge University Press.
Finkel, Caroline (2005). Osman’s Dream: The Story of the Ottoman Empire 1300-1923. New York: basic Books.
Gibbons, Herbert Adams (1916). The Foundation of The Ottoman Empire: A History of The Osmanlis up to Death of Bayezid I (1300-1403). New York: The Century Co.
Hathaway, Jane (2008). The Arab Lands under Ottoman Rule, 1516-1800. New York: Taylor & Francis.
Inalcık, Halil (1969). The Ottoman Empire: The Classical Age 1300-1600. New York: Orpheus Publishing Inc.
Karl K. Barbir (1980). Ottoman Rule in Damascus, 1708–1758. Princeton: Princeton University Press. Shaw, Stanford (1976). History of The Ottoman Empire and Modern Turkey: Volume I: Empire of The Gazis: The Rise and Decline of The Ottoman Empire, 1280-1808. New York: Cambridge University Press.
Editor oleh Roma Wijaya