Andi Aulia Khairunnisa
Bolu Abant Izzet Baysal Üniversitesi
Bulan Mei selalu menyimpan gema sejarah yang tak bisa dilupakan bangsa ini. Mei 1998, reformasi meledak, bukan hanya karena runtuhnya rezim Orde Baru, tapi juga karena krisis moneter yang meluluhlantakkan sendi-sendi ekonomi rakyat kecil. Kurs rupiah anjlok, harga-harga melambung, dan kepercayaan publik terhadap elite runtuh. Namun pertanyaannya: apakah krisis itu benar-benar telah selesai? Ataukah ia hanya bereinkarnasi dalam bentuk baru lebih halus, lebih sistemik, namun tetap menyandera?
Dua puluh tujuh tahun berselang, kita menyaksikan dinamika yang mengandung banyak kemiripan esensial, meski tidak selalu tampak kasat mata. Tulisan ini mencoba menarik garis keterkaitan antara 1998 dan kondisi Indonesia kontemporer, menelisik pola-pola laten krisis, serta menawarkan perspektif baru dalam memahami dan mengantisipasinya.
Krisis 1998: Krisis Ekonomi atau Krisis Kepercayaan?
Banyak narasi menyederhanakan 1998 sebagai krisis moneter belaka. Namun pada hakikatnya, yang runtuh bukan hanya nilai tukar rupiah, melainkan kepercayaan: terhadap pemerintah, terhadap lembaga keuangan, bahkan terhadap ide bahwa pembangunan dapat menyelamatkan. Ini adalah krisis legitimasi, yang disulut oleh kemiskinan struktural, KKN, dan ketimpangan yang dibiarkan akut.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang jatuh dari Rp2.400 ke Rp16.000 hanya gejala. Akar dari segala kekacauan adalah ekonomi yang rapuh karena terlalu bergantung pada utang luar negeri dan ekspor bahan mentah, serta elite yang abai pada pemerataan.
Krisis Kontemporer: Bukan Lagi Soal Tukar Dolar, Tapi Tukar Arah
Jika hari ini kita melihat rupiah masih “relatif stabil”, bukan berarti kita aman dari krisis. Krisis hari ini bersifat struktural dan psikologis. Defisit fiskal, utang pemerintah yang tembus lebih dari Rp8.000 triliun, nilai tukar yang rentan, hingga disrupsi sektor produktif akibat dominasi sektor non-riil seperti platform economy dan perdagangan digital lintas negara semuanya adalah ledakan waktu (time bomb) yang hanya menunggu momentum.
Lebih dalam lagi, kita sedang menghadapi krisis arah. Tidak ada narasi ekonomi jangka panjang yang jelas, kecuali upaya jangka pendek menarik investor. Namun investor yang masuk adalah investor ekstraktif mengambil sumber daya, lalu pergi. Kita bicara hilirisasi nikel, padahal industri domestik belum siap, dan banyak yang dikorbankan adalah wilayah adat dan lingkungan.
Dengan kata lain: krisis kita hari ini bukan karena pasar ambruk, tapi karena arah pembangunan kehilangan orientasi moral dan kemandirian. Ini bukan sekadar persoalan ekonomi, ini adalah krisis peradaban.
Apa yang Tak Berubah Sejak 1998?
- Ketergantungan pada Asing: Tahun 1998 kita tergantung pada IMF. Hari ini, kita tergantung pada FDI (Foreign Direct Investment) dan teknologi digital asing. Dalam banyak kasus, kita bahkan tidak memegang kedaulatan data.
- Ketimpangan Masih Tinggi: Gini ratio masih fluktuatif di angka 0.38–0.40. Satu persen penduduk menguasai hampir separuh kekayaan nasional.
- Elitisme Ekonomi: Kebijakan ekonomi masih bias elite. Subsidi untuk rakyat dipangkas dengan alasan efisiensi, sementara insentif untuk korporasi tetap mengalir.
- Simbolisme Tanpa Substansi: Reformasi diperingati setiap tahun, namun oligarki tetap bercokol dengan wajah baru.
Apa yang Berubah?
- Digitalisasi Ekonomi: Kini krisis tidak melulu soal bank kolaps, tapi soal big tech yang menghisap data dan keuntungan dari masyarakat tanpa membayar pajak atau kontribusi lokal yang adil.
- Utang Berwajah Lembut: Jika dulu utang luar negeri jadi momok, kini utang dijustifikasi sebagai “alat pertumbuhan”. Padahal konsekuensinya tetap sama: hilangnya kedaulatan fiskal.
- Narasi Populis Palsu: Di era media sosial, populisme jadi alat penenang. Seolah semua baik-baik saja karena indeks makro aman. Padahal realitas mikro menunjukkan krisis daya beli, pengangguran tersembunyi, dan mentalitas survival mode.
Kita Butuh Reformasi Etika Ekonomi, Bukan Hanya Teknokratisme
Solusi bukan hanya di tangan para ekonom atau teknokrat. Bahkan, banyak krisis justru lahir dari teknokratisme yang kehilangan nilai moral.
Indonesia butuh reformasi etika ekonomi kita perlu menggeser logika dari growth-driven economy ke value-driven society. Artinya, pembangunan tidak boleh lagi berorientasi pertumbuhan semata, tapi harus dikembalikan pada pertanyaan mendasar “untuk siapa pembangunan ini?”
Model ekonomi masa depan harus membumi. Misalnya:
- Menguatkan ekonomi lokal berbasis komunitas dan koperasi digital.
- Membangun ekosistem teknologi terbuka yang tidak dikuasai segelintir oligarki digital.
- Menata ulang sistem pajak agar lebih progresif dan adil.
- Membatasi kekuasaan modal asing melalui regulasi yang berpihak pada rakyat dan lingkungan.
Harapan Untuk Kedepannya: Bukan Revolusi, Tapi Restorasi Kesadaran
Kita tidak butuh revolusi berdarah atau sekedar perubahan pemimpin. Kita butuh restorasi kesadaran kolektif. Caranya:
- Melek Ekonomi Sejak Dini: Kurikulum pendidikan harus memasukkan literasi ekonomi kritis, bukan hanya soal uang, tapi soal keadilan.
- Transparansi Kebijakan: Setiap kebijakan ekonomi harus bisa diakses dan dipahami rakyat. Kalau tidak, reformasi hanya jadi jargon.
- Etika Politik dan Bisnis: Harus ada standar etika dalam kolaborasi pemerintah dan swasta. Tidak semua investasi harus diterima.
- Platform Rakyat: Media digital seharusnya menjadi alat untuk membangun narasi alternatif, bukan hanya alat kampanye elite.
Mei 1998 bukan sekadar cerita lampau. Ia adalah cermin. Dan cermin itu kini memperlihatkan wajah yang hampir sama—hanya lebih tersenyum, lebih digital, dan lebih rapi. Namun luka-luka struktural masih menganga. Kita tidak sedang menghadapi krisis finansial biasa, melainkan krisis identitas nasional: mau dibawa ke mana arah pembangunan ini?
Jika kita tak ingin sejarah terulang sebagai tragedi yang lebih sunyi, maka saatnya menghidupkan kembali semangat reformasi bukan di jalanan, tapi di setiap kesadaran dan kebijakan yang kita buat.
Daftar Pustaka
- Aspinall, E. (2010). Indonesia: The irony of success. Journal of Democracy, 21(2), 20–34. https://doi.org/10.1353/jod.0.0160
- Bank Indonesia. (2024). Laporan Perekonomian Indonesia 2023. Jakarta: Bank Indonesia. https://www.bi.go.id
- Badan Pusat Statistik. (2024). Statistik ketimpangan dan kemiskinan Indonesia 2023. Jakarta: BPS. https://www.bps.go.id
- International Monetary Fund. (1999). IMF-Supported Programs in Indonesia, Korea, and Thailand: A Preliminary Assessment. IMF. https://www.imf.org
- Krugman, P. (1999). The return of depression economics. W.W. Norton & Company.
- Kurniawan, R. (2021). Krisis ekonomi dan politik 1998: Sebuah refleksi 20 tahun reformasi. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 24(1), 15–29. https://doi.org/10.22146/jsp.62071
- Lane, M., & Tornell, A. (1999). Why did East Asia experience a crisis? Brookings Papers on Economic Activity, 1999(1), 1–90. https://doi.org/10.2307/2534668
- Nugroho, H. (2022). Ekonomi politik Indonesia: Dari kolonialisme ke neoliberalisme. Yogyakarta: INSIST Press.
- OECD. (2023). Economic Outlook for Southeast Asia, China and India 2023: Reviving tourism post-pandemic. OECD Publishing. https://doi.org/10.1787/800d9b84-en
- Robison, R., & Hadiz, V. R. (2004). Reorganising power in Indonesia: The politics of oligarchy in an age of markets. Routledge.
- Sachs, J. (1998). Global capitalism: Making it work. The Economist, October 3rd. https://www.economist.com
- Sembiring, M. (2023). Kedaulatan data dan kapitalisme digital di Indonesia. Jurnal Regulasi & Kebijakan Digital, 5(1), 45–62.
- Stiglitz, J. E. (2002). Globalization and its discontents. W.W. Norton & Company.
- Tempo. (2023, November 21). Indonesia hadapi utang luar negeri terbesar sepanjang sejarah. Tempo.co. https://www.tempo.co
- UNCTAD. (2023). World Investment Report 2023: Investing in sustainable energy for all. United Nations. https://unctad.org
- Walden, B. (2021). Ketimpangan ekonomi digital di Asia Tenggara: Kasus Indonesia dan dominasi platform global. Asian Journal of Digital Economy, 2(2), 89–105.
- World Bank. (2024). Indonesia economic prospects: Recovering from the scars of the pandemic. Washington DC: The World Bank. https://www.worldbank.org
- Yayasan Indonesia Cerah. (2023). Kritik terhadap kebijakan hilirisasi nikel: Risiko lingkungan dan sosial. Jakarta: Indonesia Cerah.
- Zaini, M. (2020). Politik ekonomi pasca-reformasi: Mengapa oligarki bertahan? Jurnal Politik dan Ekonomi, 12(3), 202–219.