Saat Nikel Jadi Andalan Dunia, Indonesia yang Menanggung Resikonya

Qurrota A’yuni
Department of Chemistry – Hacettepe University
Pusat Studi Bidang SainTek – PPI Turki

Di era kendaraan listrik dan transisi energi bersih, nikel menjadi salah satu komoditas paling diburu dunia. Logam ini menjadi bahan utama dalam pembuatan baterai ion litium (Li-ion) yang menjadi jantung kendaraan listrik, smartphone, hingga penyimpanan energi berskala besar. Di balik perannya yang krusial di masa depan bebas karbon, terdapat realitas yang tak kalah penting, yaitu Indonesia sebagai penghasil nikel terbesar di dunia justru menghadapi beban ekologis dan sosial yang berat.

Nikel dalam Baterai

Nikel (Ni) telah lama digunakan secara luas dalam baterai yang mulai populer pada tahun 1980-an dalam bentuk baterai nikel kadmium (NiCd) dan nikel metal hidrida (NiMH) yang dapat diisi ulang dan tahan lama. Penggunaan baterai berbasis nikel dalam alat-alat bertenaga dan kamera digital awal menunjukkan potensi besar perangkat portabel, yang mengubah ekspektasi kita terhadap cara bekerja dan hidup. Pada pertengahan 1990-an, baterai NiMH mulai digunakan secara signifikan dalam kendaraan, khususnya pada Toyota Prius yang merupakan mobil berkonsep baterai hibrida pertama di dunia yang berasal dari Jepang. Sekitar periode waktu yang sama, baterai ion litium mulai diaplikasikan secara komersial, awalnya di kamera video dan kemudian menyebar ke smartphone, laptop, dan berbagai perangkat portabel lainnya yang kini sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita sehari-hari.

Pengembangan teknologi baterai berbasis nikel yang terus berlanjut, semakin memperkuat kontribusinya dalam sistem penyimpanan energi dengan menawarkan tenaga yang lebih besar dan biaya per kWh yang lebih rendah. Saat ini, dua jenis baterai Li-ion yang paling umum digunakan adalah Nickel Cobalt Aluminium (NCA) dan Nickel Manganese Cobalt (NMC) dengan penggunaan nikel sekitar 60-80%, bahkan pada formulasi baterai NMC terbaru, penggunaan nikel mendekati 90%. Keunggulan utama penggunaan nikel dalam baterai yaitu kemampuannya untuk memberikan kepadatan energi yang lebih tinggi dan kapasitas penyimpanan yang lebih besar, sehingga apabila diterapkan pada baterai mobil listrik maka akan memberikan jarak tempuh yang lebih jauh bagi kendaraan dengan biaya yang lebih rendah. Kondisi ini memicu pangsa pasar kendaraan listrik terus bertumbuh pesat dan beberapa prediksi menunjukkan bahwa kendaraan listrik akan mencapai lebih dari 30% kendaraan global pada tahun 2026, yang sebagian besar akan ditenagai oleh baterai Li-ion dengan nikel sebagai andalannya.

Sumber Nikel Dunia

Nikel ditambang dari dua jenis sumber utama yaitu endapan sulfida dan laterit. Pada tahun 1950-an sebesar 90% dari nikel yang diproduksi berasal dari endapan sulfida yang dapat ditemukan di daerah beriklim sedang hingga sub-Arktik, namun seiring berjalannya waktu terjadi peralihan bertahap ke sumber endapan laterit karena kelebihannya yang terletak di dekat permukaan dan mengandung logam berharga lain seperti kobalt, hingga pada tahun 2022, sebesar 72% nikel di dunia diperkirakan bersumber dari bijih nikel laterit. Nikel laterit sebagian besar ditemukan di wilayah khatulistiwa seperti Indonesia, Filipina, dan Brasil, yang memiliki banyak hutan hujan tropis di dalamnya. Dimana hutan hujan tropis berperan sangat penting bagi lingkungan baik secara lokal maupun global yang berfungsi sebagai penopang ekosistem yang kompleks mulai dari mikroorganisme hingga predator serta sebagai pengatur iklim global dengan menyerap karbon dioksida (CO2) dan melepaskan oksigen (O2) dalam jumlah besar melalui proses fotosintesis. Sayangnya, untuk mendapatkan bijih laterit yang tersebar luas di dalamnya diperlukan penebangan hutan hujan tropis sehingga menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan yang disebabkan oleh hilangnya tutupan vegetasi, seperti hilangnya keanekaragaman hayati, erosi tanah, dan bahkan kerusakan terumbu karang di sekitar pulau-pulau kecil tempat bijih laterit ditambang.

Saat ini Indonesia menjadi pusat perhatian investor dan produsen global karena disorot sebagai negara dengan cadangan dan produksi nikel peringkat 1 di dunia. Bagaimana tidak, pada tahun 2023 saja Kemenko Marves merilis data pasokan nikel dari Indonesia sebesar 59% dari total pasokan dunia dan diproyeksikan akan menguasai hingga 75% produksi nikel dunia pada beberapa tahun mendatang. Letak cadangan nikel yang sangat signifikan didominasi oleh daerah-daerah di bagian tengah hingga timur Indonesia, seperti Sulawesi, Maluku dan Papua.

Produksi Nikel dan Bahaya Limbah yang Mengintai

Prinsip produksi nikel didasarkan pada jenis sumber bijihnya. Untuk bijih nikel sulfida biasa diekstraksi dengan prinsip roasting & smelting sedangkan untuk nikel laterit umumnya diekstraksi dengan proses High Pressure Acid Leaching (HPAL) & smelting atau peleburan pada suhu tinggi. Dalam proses produksi nikel akan selalu menghasilkan tailing sebagai produk samping yaitu mineral pengotor berupa pasir sisa tambang. Selain tailing, limbah cair dari proses leaching dan limbah gas berupa asap dari proses peleburan dan pembakaran batu bara kerap kali dihasilkan. Limbah-limbah tersebut tergolong sebagai limbah B3 (Bahan Beracun Dan Berbahaya) karena mengandung logam berat seperti Arsenik (As) dan Merkuri (Hg).

Senyawa arsenik dianggap sebagai racun yang kuat, yang mempengaruhi berbagai sistem dalam tubuh manusia dengan mengganggu banyak reaksi enzimatik. Arsenik dapat memicu berbagai kanker, seperti kanker paru-paru, kulit, dan kandung kemih. Paparan terhadap arsenik anorganik dapat mengiritasi lambung, paru-paru, dan usus, serta menyebabkan perubahan pada kulit, dan menurunkan produksi sel darah putih dan merah. Selain arsenik, keracunan merkuri juga menyebabkan dampak kesehatan yang sangat serius, mulai dari gejala neurologis, seperti tremor, insomnia, dan defisit kognitif, hingga masalah gastrointestinal, seperti rasa logam, mual, dan radang gusi. Kontak kulit dengan merkuri anorganik dapat menyebabkan dermatitis, sementara gangguan psikologis yang ditimbulkan dikenal dengan “erethism” yang mencakup perubahan suasana hati, kecemasan, dan depresi. Dampak merkuri dapat meluas hingga ke perkembangan janin, karena merkuri mudah melewati penghalang plasenta dan berpindah melalui ASI.

Sayangnya, kontaminasi dua logam berat tersebut (arsenik dan merkuri) telah nyata di sekitar kita. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Nexus3 Foundation dan Universitas Tadulako yang baru saja merilis hasil temuannya pada akhir Mei 2025. Mereka menemukan kontaminasi arsenik dan merkuri yang melebihi batas aman pada sampel darah milik pekerja dan warga di sekitar industri nikel yang berlokasi di Weda, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Ditemukan rata-rata konsentrasi arsenik dan merkuri sebesar 22,94 µg dan 12,7 µg per liter darah, padahal nilai ambang batas arsenik dan merkuri dalam 1 liter darah masing-masing hanya 7,5 µg dan 4,3 µg. Itu artinya kadar arsenik dan merkuri telah melebihi 3 kali lipat dari ambang batas normal. Selain itu beberapa orang di antaranya juga menunjukkan gejala keracunan dua logam berat tersebut.

Dampak Ekologis dan Sosial

Meskipun limbah telah melalui proses pengolahan untuk menurunkan konsentrasi zat pencemar hingga di bawah ambang batas yang ditetapkan, logam berat di dalamnya tetap berisiko terakumulasi pada biota laut dan memicu biomagnifikasi di sepanjang rantai makanan ekosistem laut. Salah satu dampak nyata dari pembuangan limbah ini terlihat pada kasus sedimentasi di wilayah pesisir daerah terdampak seperti di Morowali. Kawasan hutan mangrove dan laut pesisir yang sebelumnya menjadi habitat penting bagi berbagai sumber daya perikanan kini mengalami kerusakan dan mengakibatkan penurunan hasil tangkapan ikan. Akibatnya, para nelayan terpaksa melaut lebih jauh demi mendapatkan hasil tangkapan yang layak.

Dalam misi mendukung konversi energi beremisi menjadi energi bersih dengan mengorbankan kondisi lingkungan hidup seakan-akan menjadi kurang bijak. Saat ini, analisis potensi risiko terhadap kesehatan pekerja dan masyarakat serta dampak terhadap lingkungan merupakan hal yang sangat penting. Nikel memang menjadi andalan dunia untuk transisi energi bersih (mobil listrik dan baterai), namun selama pengelolaannya diwarnai kerusakan lingkungan dan ketimpangan sosial, maka Indonesia akan terus menanggung resikonya. Kerugian ekologis dan sosial yang serius akan terus meluas jika tidak dikelola secara berkelanjutan. Keberlanjutan mengharuskan pemulihan kawasan industri yang terdampak dari degradasi dan kontaminasi. Diperlukan juga pendekatan ekonomi hijau dan pertambangan yang beretika agar manfaat nikel tidak merugikan lingkungan dan masyarakat sekitar.

Pustaka

  1. Oxley, A., Smith, M.E., Caceres, O., 2016. Why heap leach nickel laterites?. Minerals Engineering, 88, 53-60.
  2. Wood Mackenzie, 2013. Metals Cost Service Insights
  3. Nickel Institute, 2024. Nickel Industry
  4. Yeganeh, M., et al. 2013. Mapping of human health risks arising from soil nickel and mercury contamination. Journal of Hazardous Materials, 244-245, 225-239.
  5. Syarifuddin, N., 2022. Pengaruh Industri Pertambangan Nikel Terhdapa Kondisi Lingkungan Maritim di Kabupaten Morowali. Jurnal Riset & Teknologi Terapan Kemaritiman, 1(2), 19-23.
  6. Mulia, A.Y., dan Sari, I.N., 2018. Characteristics of Tailing Waste for Material of Instant Mortar. Jurnal Pemukiman, 13(1), 53-60.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *