Dilema Hukum Internasional di Tengah Pelanggaran Gencatan Senjata Israel-Palestina: Antara Resolusi dan Intervensi Militer

Syihasarahil Al Dazfa Chairan
International Relations
Sakarya University

Pada bulan Oktober 2025, gencatan senjata yang dinanti-nantikan para pembela dan pejuang Palestina akhirnya terjadi juga. Sejauh ini, ribuan anak, ibu, ayah, tentara telah meletakkan jiwanya demi memperjuangkan kebebasan tanah Palestina dari Israel. Seharusnya gencatan senjata ini menjadi permulaan dari akhir, tetapi telah muncul berbagai kabar larangan gencatan senjata yang dilakukan oleh Israel. Hingga 28 Oktober, Israel telah melarang gencatan sejata melalui penembakan warga sipil, memasuki wilayah Yellow Line, serta menutupi alur masuk bantuan kemanusiaan dengan menutup perbatasan selatan dengan Mesir. Gencatan senjata ini malah membawa malapetaka yang lebih acak lagi, karena kali ini bahkan dalam kondisi damai pun serangan masih berlanjut. Bagaimana cara menyikapi hal ini melalui hukum internasional yang masih belum maksimal memberikan payung lindungan ke warga Palestina? Mari kita diskusikan.

Hal yang mencolok dari persetujuan gencatan senjata ini adalah masih perlunya negosiasi lebih lanjut dengan Israel, padahal Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, telah menyatakan akan “menentang keras” usaha Palestina meraih kenegaraan. Selain itu, adanya pemerintahan transisi yang tidak mewakili Otoritas Palestina melarang hak Palestina untuk menentukan arah nasibnya sendiri. Hal ini juga diperparah oleh tiadanya transisi ke pemerintahan yang sepenuhnya mewakili rakyat Palestina.

Kita sudah mengetahui bahwa Israel telah melakukan larangan kemanusiaan dan gencatan senjata. Tercatat, menurut Otoritas Palestina, 194 larangan telah dilakukan oleh Israel. Walau begitu, kemampuan hukum internasional melalui lembaga turunannya (ICJ,UN) masihlah sebatas mengeluarkan resolusi dan membuka kasus untuk mengadili PM Israel. Bahkan, Otoritas Palestina hanya bisa sebatas menyerukan kepada Presiden Amerika Serikat dan mediator internasional untuk intervensi sewajarnya. Kita harus ketahui bahwa dalam tatanan internasional, intervensi humanis sendiri tidak bisa dilakukan serta merta karena suatu negara sedang dilanda musibah karena ini akan menyalahkan kedaulatan negara itu sendiri dan keinginan sejati dari rakyat negara itu.

Sejauh ini, usaha hukum dan tatanan internasional untuk pemberhentian konflik Israel-Palestina ini sejak 2023 diarahkan kepada PM Israel agar ditahan atas dasar kejahatan kemanusiaan melalui kemampuan hukum International Court of Justice. Selain itu, berbagai macam resolusi dilayangkan dengan tujuan untuk menghentikan pembantaian rakyat Palestina, gencatan senjata, dan pembebasan semua sandera di konflik ini. Bagi penulis, resolusi-resolusi ini berguna untuk menekan para pemimpin yang secara historis mendukung Israel untuk mengerahkan tenaga untuk mendukung Palestina juga. Tercatat, sembilan negara Barat telah mengakui Palestina sepanjang bulan September 2025 yang termasuk Britania Raya, Australia, dan Perancis. Bukankah ini berarti resolusi membantu mewujudkan kemerdekaan Palestina?

Hukum internasional masih dibutuhkan apabila ingin melawan Israel dengan cara yang berkenaan dengan hukum. Tetapi, andaikata kita harus melawan kekejaman suatu negara yang sendirinya tak mematuhi hukum internasional dan perjanjian internasional, apakah intervensi militer perlu dilakukan untuk menghentikan konflik ini? Dengan tujuan melenyapkan Israel? Intervensi internasional dengan tujuan melemahkan suatu negara telah dilakukan dahulunya dengan pengeboman Yugoslavia (pada saat itu Yugoslavia hanya terdiri dari negara yang sekarang adalah Serbia dan Montenegro). Dalil dari pengeboman ini adalah karena pasukan militer negara tersebut telah melakukan pembersihan etnis terhadap kelompok etnis Albania yang ada di Serbia. Walau begitu, ada sumber yang mengatakan bahwa pembersihan etnis dan kejahatan yang dilakukan pasukan militer tersebut justru dilakukan di saat pengeboman tengah terjadi, bukan sebelum pengeboman. Justifikasi intervensi pun menjadi lemah. Untuk melakukan hal serupa untuk konflik Israel-Palestina, sebuah dalil yang kuat harus diutarakan. Hal ini susah karena mau bagaimanapun, suatu negara tidak bisa sepenuhnya mewakili kepentingan masyarakat yang bukan negaranya sendiri.

Sebagai rakyat Indonesia, ada baiknya kita berusaha untuk menanggapi konflik ini sesuai kemampuan kita. Konflik ini membutuhkan berbagai dimensi untuk penyelesaiannya, dan resolusi dari lembaga internasional dan diskusi mengenai intervensi hanyalah segelintir dari usaha yang bisa kita lakukan sebagai warga dunia. 

sumber: 

https://www.middleeasteye.net/news/full-list-israels-ceasefire-violations-gaza
https://www.ohchr.org/en/press-releases/2025/10/palestine-any-peace-plan-must-respect-international-law-beginning-self
https://www.detik.com/jateng/berita/d-8126072/daftar-negara-yang-mengakui-palestina-terbaru-inggris-hingga-prancis
https://www.amnesty.org/en/latest/news/2024/01/israel-must-comply-with-key-icj-ruling-ordering-it-do-all-in-its-power-to-prevent-genocide-against-palestinians-in-gaza/#:~:text=The%20ruling%20issued%20by%20the,assistance%20to%20civilians%20in%20Gaza.
https://commonslibrary.parliament.uk/research-briefings/cbp-10131
https://www.britannica.com/question/Why-was-Belgrade-bombed-by-NATO
https://www.wilsoncenter.org/publication/220-bombing-to-bring-peace