Bencana dan Tirani Citra: Analisis Psikologis di Balik Penolakan Bantuan Internasional

Agus Salim Hatapayo
Education Management (S2)
Gaziantep University

Di tempat yang jauh dari epicentrum bencana, di hadapan para pejabat, laporan-laporan yang berisi angka-angka terus berdatangan. Rumah-rumah roboh, jembatan putus, dan desa-desa terisolasi. Mungkin melalui layar monitor, angka-angka itu tampak dingin dan tidak memiliki nilai. Tapi di lapangan, setiap angka mewakili tubuh yang terperangkap atau anak-anak yang tak sempat menyelamatkan diri dan keluarga yang kehilangan segalanya.

Setelah membaca beberapa berita terkait respon pemerintah pusat terhadap bencana Sumatera, khususnya dalam menjawab tawaran bantuan internasional, tentu lahir rasa kecewa yang membuat sebagian orang “ingin berkata kasar”. Tapi dalam tulisan ini mari kita tinjau bentuk pengambilan keputusan itu dari sudut yang sedikit akademis daripada melontarkan makian yang -walaupun pantas- tapi tetap tidak bernilai edukatif.

Bencana yang membuat tujuh bupati menyerah dengan satu pernyataan memilukan bahwa mereka tidak sanggup menangani dampaknya sehingga meminta bantuan lebih luas, pusat kekuasaan justru mengambil keputusan berbeda. Bantuan internasional ditolak, status bencana nasional tidak diberikan, dan negara memilih berdiri sendiri seolah kemampuan internal adalah satu-satunya symbol sebuah negara yang bermartabat. Seperti kata Bachtiar Najmuddin (Ketua DPD) atas dukungannya terhadap keputusan Presiden Prabowo. “Harga diri Bangsa ini terlalu tinggi”.

Melalui laporan www.bbc.com/indonesia ketika menghitung masa pemulihan bencana Sumatera jika ditangani sendiri oleh pemerintah Indonesia, diperkirakan membutuhkan waktu sekitar 20-30 tahun. Dalam hal ini keputusan seorang pemimpin tidak selesai hanya sebagai langkah birokratis, ia mengandung pilihan politik dan moralitas. Ketika data lapangan sudah menunjukkan ketidakmampuan pada level daerah, seharusnya menahan pintu bantuan internasional bukan lagi sekadar soal kedaulatan, nama baik bangsa atau citra kepahlawanan, melainkan soal prioritas. Namun pilihan untuk menolak bantuan memberi sinyal bahwa citra dan kontrol lebih penting daripada niat yang sungguh atas penyelamatan. Sebagian dari kita mungkin bertanya dengan nada kecewa diikuti amarah, kenapa pejabat selevel presiden mengambil keputusan yang tidak masuk akal dan bertolak belakang dari data empiris.?

Sampai di sini, minimal kita bisa menangkap satu poin sederhana bahwa keputusan public terkadang tidak selalu lahir dari kalkulasi rasional atau untung rugi. Oleh sebab itu kita perlu pembacaan dari sudut pandang lain, khususnya dari sudut pandang dinamika psikologis pemimpin yang memegang kendali atas narasi negara.

Carl Gustav Jung mengembangkan sebuah gagasan bahwa manusia sering kali tidak sadar bahwa ia hidup mengikuti pola yang jauh lebih tua daripada dirinya. Sebuah gagasan yang menunjukan bahwa manusia tidak hanya bergerak atau mengambil keputusan berdasarkan logika rasional, tetapi juga oleh pola-pola bawah sadar yang ia sebut sebagai archetype. Sebuah pola yang bisa dipahami sebagai cetak biru psikologis yang membentuk cara seseorang melihat dunia, memahami perannya dan merespon berbagai situasi. Terutama ketika berada pada posisi kekuasaan. Dalam politik, archetype bekerja jauh lebih keras. Pemimpin tidak hanya memutuskan berbagai perkara berdasarkan data, tetapi juga berdasarkan narasi batin tentang siapa dirinya dan bagaimana ia membayangkan dan mencitrakan posisinya di tengah kekuasaan.

Dalam diskursus Jungian tentang arcehtype dan kekuasaan ada dua jenis archetype yang paling sering muncul yakni Hero dan Ruler. Keduanya terlihat ideal, tetapi masing-masing memiliki sisi gelap (Shadow) yang dapat muncul ketika seseorang, khususnya pemimpin berada pada situasi tertentu.

Archetype Hero: Ketika Penyelamat Menjadi Hambatan Penyelamatan

Archetype Hero pada dasarnya sederhana, bahkan hebat dan dibutuhkan dalam setiap komunitas. Ia ingin mengalahkan ancaman, menyelamatkan keadaan, dan menjadi pusat tindakan. Jung menyebut bahwa arcehtype ini mudah berubah menjadi ilusi dan jatuh kedalam shadownya sendiri jika pemiliknya terobsesi pada perannya sebagai penyelamat.

Dalam konteks pemimpin negara, Hero yang terperangkap dalam shadownya akan menjadi tidak terkendali dan bisa memunculkan perilaku seperti merasa dirinya harus menjadi tokoh utama jika ada krisis, atau menolak bantuan karena dianggap merendahkan kemampuan, bahkan melihat bencana bukan sebagai tragedi kemanusiaan tetapi sebagai panggung pembuktian diri. Disisi lain hero yang terjebak ini juga percaya bahwa ia “ditakdirkan” untuk menyelesaikan semua permasalahan itu sendirian atas nama kelompok atau bangsanya.

Dan ketika seorang pemimpin berkata Kita bisa tanpa bantuan asing padahal daerah-daerah sendiri sudah berteriak tidak mampu, maka jelas, Hero dalam dirinya sedang mengambil alih kendali. Tetapi Hero tanpa kesadaran diri ini pada akhirnya akan bertentangan dengan kenyataan yang mengerikan.

Archetype Ruler: Kekuasaan yang Selalu Ingin Stabil Meski Rakyat dalam Krisis

Archetype kedua adalah The Ruler, sosok yang menginginkan kontrol, stabilitas, dan kedaulatan. Dalam dunia politik, ini bukan sesuatu yang buruk. Negara memang membutuhkan otoritas, pemimpin yang tegas dan juga berwibawa. Tetapi Jung menjelaskan bahwa Ruler memiliki shadow berbahaya, ketika ia terjebak dalam kontrol berlebihan, otoritarianisme, dan obsesi mempertahankan legitimasi. Shadow itu bernama The Tyran. Ruler yang masuk ke dalam “mode shadow” ini akan takut terlihat lemah di mata publik terutama internasional, menolak mengakui kegagalan, (termasuk dalam hal ini berkaitan dengan status bencana nasional), anti kritik, memprioritaskan nama baik negara dibanding kemanusiaan dan melihat bantuan asing sebagai ancaman simbolik, bukan sebagai pertolongan.

Sederhananya jika Arcehtype Hero menghalangi bantuan karena merasa mampu, maka Ruler menolaknya karena merasa harus terlihat kuat. Keduanya berbeda, namun ketika kedua archetype ini bercampur maka hasilnya adalah pemimpin seperti yang kita saksikan saat ini. Sehingga jika kebijakan yang dilahirkan hampir selalu menekan rakyat bukan malah menolong, maka bisa dipastikan obsesi dari sisi gelap arcehtype yang dimiliki oleh pemimpin-pemimpin itu sedang mengamuk mencari jalan keluar.

Dalam kasus bencana Sumatra, dinamika ini terlihat jelas ketika pusat kekuasaan justru sibuk menjaga citra. Ini bukan hanya soal kesalahan administratif, tetapi pantulan dari sisi gelap arcehtype yang muncul dari dalam diri pemimpin. Di sinilah kritik menjadi penting.

Sebagai penutup, bencana seharusnya menjadi ruang di mana kemanusiaan menjadi prioritas di atas ego politik. Tetapi ketika archetype yang tidak dikelola menjadi dominan, maka keputusan negara berubah menjadi perpanjangan dari struktur psikologis pemimpin yang terjebak dalam ilusi kepahlawanan dan terperangkap dalam kecemasan akan kehilangan control.

Referensi

Jung, C.G. The Archetypes and the Collective Unconscious (1959).
Jung, C.G. Aion: Researches into the Phenomenology of the Self (1951).
Pearson, Carol. The Hero Within (1989).
Berkenhof, A. Leadership Archetypes in Politics (2018).
Post, Jerrold. Leaders and Their Shadows: Psychological Dimensions of Political Leadership (2015).
Edelstein, Alex. The Symbolic Power of Leaders in Crisis Politics (2017).