Muhammad Aga Yudha
Mustafa Kemal Ataturk University
agayudha69@gmail.com
Dalam kajian ilmu sosial, tidaklah mungkin ditemukan realitas objektif yang menyeluruh, sebab setiap individu melihat sesuatu dari sudut pandang dan batasannya masing-masing. Sebagai contoh, dalam konteks Suriah, Al-Assad secara historis adalah seorang Alawite. Namun, keyakinan Alawite yang dianut oleh Al-Assad bukanlah hasil dari konversi yang dilandasi oleh pencarian spiritual dan perenungan yang mendalam, melainkan karena faktor keturunan. Keluarga Al-Assad berasal dari wilayah Qardaha, yang secara historis merupakan bekas negara Alawite dan telah menjadi basis utama pengikut sekte Alawite selama berabad-abad.
Alawite (nusayri) sendiri merupakan kelompok masyarakat etno religious, dalam konteks Turki nusyairi adalah kelompok masyarakat alawite arab yang mendiami Kawasan hatay (liwa’ Iskenderun) dan berbeda dengan alevi yang mempunyai basis di anatolia. Keyakinan alawite sendiri berpusat pada ajaran Abu Shuaib Muhammad Musa bin Nusayr Al Namiri. Dalam Keyakinan Alawite pada awalnya Tuhan merupakan perbendaraan yang tersembunyi (wujud bila Ta’ayun). Dimana tidak ada satupun seorang yang bisa mengkau Tuhan (Al Ma’na),kemudian Tuhan menciptakan benda – benda dan Mahluk Hidup serta memberikan identitas pada dirinya (Al Ism). Di antara makhluk-Nya, Tuhan menciptakan beberapa pintu (Al-Bab) untuk mengenal diri-Nya. Al-Bab ini merupakan sesuatu yang terpancar secara emanasi dari cahaya ilahi (tasalsul). Al-Bab adalah satu-satunya jalan untuk mengenal Tuhan. Melalui Al-Bab, seseorang dapat memperoleh pengetahuan spiritual. Namun, Al-Bab bukanlah entitas ketuhanan itu sendiri, melainkan pintu menuju Tuhan. Dalam doktrin Alewi-Nusayri, ketiga konsep di atas bukanlah Tuhan itu sendiri, tetapi hubungan antara Al Ma’na dan Al-Ism, sebagaimana hubungan antara matahari dan cahayanya. Dalam konteks ini, Alewi-Nusayri tampaknya meminjam konsep Neoplatonisme untuk menjelaskan Tuhan. Meski begitu, pemahaman Alewi sebenarnya hanya untuk menegaskan bahwa tidak ada dualisme dalam ketuhanan.
Adanya Al Bab sebagai penerjemah pesan – pesan Tuhan merupakan semata – mata Anugrah dari Tuhan. Seorang Nushayris dapat menjadi Al bab melalui serangkaian Laku dan ujian untuk mencapai derajat Al Bab. Pada dicktum ini walaupun Para alewite meyakini Bahwa Allah sendiri sebagai personifikasi dari Al Ma’na dan Al ism dan sedangkan Ali, Muhammad dan Salman sebagai Al Bab akan tetapi Pada esensinya Al Bab merupakan sebuah kedudukan yang bisa diusahakan oleh seorang manusia hal ini berbeda dengan kenabian yang tidak diperoleh dari hasil jerih payah seorang hamba.
Anggapan bahwa Alawite berkeyakinan adanya inkarnasi dan ketuhanan Pada diri Ali dan tujuh manusia suci perlu dikoreksi kembali sebab Kitab Al Majmu’ sendiri bukan lah sebuah kitab yang diakui sebagai sumber otoritatif dalam tradisi Alawi itu sendiri. Yang kedua, Abu Musa dan Shaik Musa dua orang yang mentahkik kitab tersebut adalah orang yang tidak memahami bagaimana tradisi Islam dan Alawite dengan baik. Hal terbukti pada komentarnya tentang Reinkarnasi Itu sendiri yang menurutnya ada pada tradisi semua ağama samawi dan islam. Dalam islam Adanya Tuhan sebagai esensi yang adikodrati kemudian muncul sebagai suatu yang bersifat materi pada firman Nya (Kalam) yang berwujud materi, huruf dan suara sehingga menurut pentahkik kitab al majmu’ keyakinan adanya kalam Tuhan menunjukan bahwa sebetulnya Tuhan merupakan sebuah sifat yang membutuhkan form untuk eksis. Hal ini menunjukan ketidak pahaman pentahkik kitab itu pada Tradisi keislaman itu sendiri. Dalam tradisi keilmuan islam Keyakinan bahwa Tuhan merupakan sebuah sifat (aradh) yang membutuhkan tempat untuk eksis tidak pernah ada. Seluruh kelompok islam termasuk alawi meyakini bahwa Tuhan bukanlah sebuah sifat yang bisa menjadi aksiden dan menempel pada setiap yang ada. Oleh karena itu, Majelis Muslimun Alawiyun, sebuah lembaga otoritas Alawite yang berbasis di Lebanon dan memiliki pengaruh di pesisir Suriah hingga Hatay, dengan tegas menolak keyakinan inkarnasi dalam tradisi Alawite.
Berdasarkan hal tersebut Penulis ingin menyampaikan bahwa memahami konflik geopolitik Suriah dari sudut pandang sektarian merupakan tindakan yang sembrono dan tergesa-gesa. sebab pandangan keagamaan sektarian yang bagi penganutnya merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar dan telah ada jauh sebelum konflik Suriah terjadi. Selain itu, kita tidak pernah menemukan hubungan yang jelas antara keduanya.