Ilustrasi gambar: Kompasiana.com
Agus Salim Hatapayo
Education Management (S2)
Gaziantep University
Eksploitasi tenaga kerja tidak selalu tampil dengan wajah kasar dalam bentuk pemaksaan atau intimidasi. Bagaimana jika pihak dominan memanfaatkan nilai, agama, dan moralitas sebagai alat untuk menormalisasi praktik eksploitasi sehingga korban tidak sadar sedang dieksploitasi? Bahkan tidak sedikit yang justru mengaku sedang mengabdi, bersyukur, dan merasa “terpilih”. Bagaimana jika pihak penguasa memanfaatkan kerentanan yang dimiliki oleh korban seperti status social, tingkat pendidikan, ideologi, trauma psikologis, rasa rendah diri, dan ketergantungan terhadap pekerjaan untuk melanggengkan praktik tersebut.? Kita mungkin mengira praktik-praktik ini hanya menimpa buruh kasar dan terjadi pada sektor nonformal, namun bukan itu yang sedang kita diskusikan saat ini. Kita akan membicarkan bentuk eksploitasi yang menimpa tenaga pendidik di Indonesia hingga hari ini.
Di pesisir Selatan pulau seram, maluku. Jika sudah tiba musim pananen sebagian guru akan meminta izin untuk tidak mengajar selama satu hingga dua minggu untuk menjadi buruh kopra dan cengkeh. Menghadapi kenyataan ini, sebagian kepala sekolah seperti terjebak dalam kelindan yang tidak berkesudahan. Mempertanyakan nasib peserta didik dan memikirkan kondisi keluarga guru tersebut jika mereka tidak mengambil pekerjaan sampingan, mengingat penghasilan sebagai tenaga pendidik jauh dari kata cukup.
Data dari IDEAS dan GREAT Edunesia Dompet Dhuafa setelah melakukan survei kesejahteraan guru di Indonesia pada mei 2024, menunjukan bahwa 89% guru hidup pas-pasan bahkan kurang untuk memenuhi kebutuhan bulanan, 79,6% terjerat hutang, dan dari 74% guru honorer yang mendapat penghasilan dibawah 2 juta, terdapat 20,5% yang berpenghasilan dibawah 500 ribu perbulan. Namun uniknya 93,5% guru mengaku akan tetap mengajar hingga pensiun meski hidup dibawah standar kesejahteraan.
Apakah semua ini layak? Jika tidak kenapa bertahan?
Sebagaimana yang diyakini oleh Foucault, Althusser, Gramsci dan Bourdieu, bahwa realitas social termasuk -nilai yang dipegang oleh masyarakat dan prinsip moralitas yang disosialisasikan- tidak terbentuk secara objektif dan alami, melainkan dirancang -atau setidaknya dimanfaatkan- untuk menguntungkan sebagian pihak. Hingga hari ini, setidaknya penguasa menggunakan dua alat dalam mempertahakan praktik eksploitasi tenaga pendidik di Indonesia.
- Nilai social dan ajaran agama
Melalui teori Hegemoninya, Antonio Gramsci menjelaskan bahwa pihak dominan -dalam hal ini adalah negara- tidak hanya menggunakan instrument formal, baik itu undang-undang ataupun kekuatan militer untuk mempertahankan dominasinya. Tetapi juga memanfaatkan nilai, norma, budaya, ideologi, bahkan agama serta semua instrument yang dapat diterima secara sukarela oleh pihak yang didominasi. Instrument-instrumen agama seperti ibadah, keikhlasan dan amal shaleh, nilai-nilai social seperti kebaikan, tolong-menolong dan penghormatan atas jasa diasosiasikan sebagai imbalan yang lebih pantas diterima dibanding upah yang layak.
Siapa yang tidak pernah mendengar slogan “Ikhlas Beramal” dan “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”, Bagaimana iming-iming pahala, kerja Ikhlas dan pengabdian selalu dikutip oleh pejabat selevel kepala kantor wilayah diakhir penjelasannya ketika membicarakan gaji guru. Bagaimana gelar “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” didramatisir dan diromantisasi melalui nyanyian disetiap upacara, menjadi mantra untuk memuji entitas mulia yang tanpa pamrih mendidik anak bangsa. Demikian kenyataannya, tenaga pendidik dibuat bangga dengan gelar dan dilapangkan dadanya dengan dalil namun terseok-seok ditampar realitas. Sebut saja praktik eksploitasi ini dengan nama eksploitasi semu namun terlegitimasi. Sebagai contoh, guru honorer yang dibayar Rp.300.000 per bulan, secara sadar meyakini bahwa pekerjaan yang mereka lakukan adalah pengabdian, sehingga mereka dengan Ikhlas menerima berapapun bayarannya.
Betapa cemerlangnya strategi ini, pihak yang dieksploitasi dibuat tidak sadar bahwa dirinya sedang dieksploitasi. Mereka mengimani nilai-nilai yang dibentuk oleh pihak dominan dan dengan serius meyakini bahwa pola tersebut adalah alami dan benar. Karl Max menyebutnya dengan istilah false consciousness.
Cara kerja kelompok dominan dalam melanggengkan praktik eksploitasi dilakukan hanya dengan tiga langkah, kemudian skakmat. Pertama, ideologi; Pihak penguasa meramu sistem nilai yang cocok dengan nilai yang dipegang oleh masyarakat kemudian disebarkan melalui media, lembaga pendidikan dan agama. Pada tahap kedua, terciptalah consensus; penerimaan secara sukarela oleh kelas yang didominasi tanpa adanya paksaan, sebab nilai-niai tersebut selaras dengan ajaran agama yang diyakini serta nilai social yang telah dipegang. Ketiga, reproduksi social; nilai-nilai hegemonic yang merupakan instrument eksploitasi tersebut diajarkan secara terus-menerus seperti petuah dan tradisi, sehingga struktur ini tetap bertahan dari waktu ke waktu. Selaras dengan yang dibicarakan Louis Althusser bahwa anegara memang menggunakan instumen ideologis untuk mempertahankan status kekuasaan beserta keserakahan yang menyertainya.
- Kerentanan korban
Orang-orang dibentuk untuk patuh bahkan tanpa dipaksa kata Micheel Foucault. Menurutnya, kekuasaan juga bekerja melalui pengetahuan, diskursus dan pengawasan. Sebagian orang justru merasa bersukur berada dalam kondisi yang sedang dieksploitasi karena bagi mereka tidak ada pekerjaan yang layak untuk orang dengan tingkat Pendidikan rendah seperti mereka. Kerentanan yang dimiliki oleh kelompok kelas menengah kebawah, termasuk dalam hal ini adalah guru, dimanfaatkan oleh pihak dominan untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Sebagai contoh : seorang pekerja yang dipaksa bekerja lebih banyak dengan bayaran yang sama tetapi tidak mengeluh karen dia merasa bersukur sudah memiliki pekerjaan.
Kebutuhan akan pekerjaan dan ketiadaan opsi pekerjaan lain, adalah salah satu kerentanan tenaga pendidik yang sengaja dimanfaatkan oleh pihak dominan. Menurut Piere Bourdieu orang-orang yang berada dibawah kelas dominan sengaja dilemahkan dengan membatasi akses mereka terhadap konekasi dan memelihara mereka dalam kemiskinan, agar hidup meraka bergantung pada hutang sehingga pada ujungnya kebiasaan dan kenyataan hidup mereka akan diterima sebagai sesuatu yang “biasa atau sudah ditakdirkan”.
Pada tahap ini, orang-orang yang diekspolitasi berdasarkan kerentanan akan takut kehilangan pekerjaan, bahkan pada kondisi paling parah akan membela pihak dominan karena dianggap sebagai penyelamat dalam arus hidup yang keras. Senada dengan itu Paulo Freire dalam Pendidikan Kaum Tertindas juga memiliki pandangan yang kurang lebih sama, ketidakadilan ekonomi bukan menjadi satu-satunya penyebab pihak dominan melakukan eksploitasi dengan memanfaatkan kerentanan, tetapi juga dilakukan dengan rekayasa kesadaran.
Eksploitasi yang terlegitimasi adalah bentuk penindasan paling lembut tetatapi memiliki daya ikat paling kuat. Disebarkan melalui nilai, agama, budaya, dan dipertahankan lewat kesadaran kolektif yang telah dikonstruksi, menjadikan ketimpangan ini tidak terlihat, tapi mengakar begitu keras.
Referensi
Althusser, Louis. (2013). Ideologi dan Alat-alat Ideologis Negara (terj. F. Budi Hardiman). Jakarta: Marjin Kiri.
Bourdieu, Pierre. (2008). Pendidikan dan Kelas Sosial (terj. Budi Setiawan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Freire, Paulo. (2022).Pendidikan Kaum Tertindas (terj. Yuhda Wahyu Pradana; penyunting, Arifin). Jakarta. Medpress Digital.
Gramsci, Antonio. (2007). Hegemoni, Demokrasi, dan Kekuasaan Negara (terj. Ahmad Suaedy & Fathul Wahid). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ritzer, George. (2012). Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Postmodern (terj. Alimandan). Jakarta: Kencana Prenada Media.
Foucault, Michel. (2008). Pengawasan dan Hukuman: Kelahiran Penjara (terj. Rahayu S. Hidayat). Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Foucault, Michel. (2002). Pengetahuan dan Kekuasaan: Wawancara dan Tulisan Terpilih 1972–1977 (terj. Nurhadi). Yogyakarta: Jalasutra.
IDEAS Indonesia. (2024, 22 Mei). Survei IDEAS: 74 persen guru honorer dibayar lebih kecil dari upah minimum terendah Indonesia. IDEAS – Indonesia Development and Islamic Studies. https://ideas.or.id/2024/05/22/survei-ideas-74-persen-guru-honorer-dibayar-lebih-kecil-dari-upah-minimum-terendah-indonesia/
Editor by Roma Wijaya