Hilmi Abdul Aziz
İlahiyat
Gaziantep Üniversitesi
Dalam khazanah Islam Nusantara, pesantren tidak hanya menjadi pusat pendidikan agama, tetapi juga tempat pelestarian tradisi spiritual yang kaya. Salah satu praktik yang masih hidup dan dijaga dengan penuh takzim di banyak pesantren adalah tabarruk. Tabarruk atau ngalap berkah merupakan salah satu tradisi masyarakat muslim yang masih bertahan hingga sekarang khususnya di kalangan pondok pesantren. Salah satu tradisi yang umum di pondok pesantren adalah ketika para santri berebut bekas makanan dan minuman kiyai untuk ngalap berkah. Namun, di tengah arus modernisasi dan kesadaran kritis terhadap relasi kuasa, orang orang mulai mempertanyakan tradisi tabarruk ini apakah itu adalah amalan bid’ah yang sesat dan menyesatkan? juga mengaitkannya dengan feodalisme pesantren. Untuk memahami tuduhan ini perlu analisis mendalam tentang tabarruk dan bagaimana tradisi ini bertahan hingga sekarang.
Tabarruk dalam Tradisi Islam
Tabarruk sendiri merupakan derivasi dari kata berkah (البركة). Seperti kutipan Syekh Hisham bin Muhammad Haijar dalam kitabnya At-tabarruk bis-salihin kata berkah bermakna (النماء والزيادة) yang berarti pertumbuhan dan peningkatan. Dengan demikian, tabarruk berarti mencari berkah, tabarruk kepada orang-orang sholeh pada hakikatnyamencari keberkahan dari Allah melalui perantara hamba-Nya yang saleh.
Dalam sejarah islam, tabarruk memiliki dasar yang kuat. Para sahabat sering kali mencari berkah dari Nabi Muhammad SAW. salah satunya riwayat dimana sahabat mencari berkah dari gelas yang pernah dipakai Rasulullah SAW.
عن أبي بردة قال قدمت المدينة فلقيني عبد الله بن سلام فقال لي انطلق إلى المنزل فأسقيك في قدح شرب فيه رسول الله صلى الله عليه وسلم وتصلي في مسجد صلى فيه النبي صلى الله عليه وسلم فانطلقت معه فسقاني سويقا وأطعمني تمرا وصليت في مسجده
“Dari Abu Burdah, ia berkata bahwa ia mendatangi Kota Madinah. Abdullah bin Salam menemuinya. ‘Ikutlah mampir ke rumahku. Aku akan memberimu minum di gelas yang pernah dipakai oleh Rasulullah SAW. Kau pun bisa shalat di tempat sujud yang pernah dipakai Rasulullah SAW,’ kata Abdullah. ‘Aku berjalan bersama Abdullah. Ia memberiku minum beberapa teguk air dan memberiku butir kurma. Aku pun shalat di tempat shalatnya,’ kata Abu Burdah,” (HR Bukhari)
Banyak juga riwayat-riwayat yang menceritakan para tokoh ulama terdahulu yang mencari keberkahan dari orang shaleh. Dalam kitab At-Tabarruk bis ‘Shalihin bainal ‘Mujizina wal ‘Mani’in disebutkan bahwa Suatu hari, Imam Syafi’i yang berada di Mesir mengutus muridnya, Rabi’ bin Sulaiman, untuk mengantarkan surat kepada Imam Ahmad bin Hanbal di Baghdad. Dalam surat tersebut, Imam Syafi’i menyampaikan mimpinya bertemu Rasulullah SAW. Rasulullah menyampaikan salam kepada Imam Ahmad dan memberi pesan bahwa beliau akan menghadapi ujian besar (ujian keimanan ketika dipaksa mengikuti doktrin Mu’tazilah tentang Al-Qur’an adalah Makhluk). Dalam ujian itu, ia diminta untuk tidak mengikuti tekanan, dan Allah akan mengangkat namanya hingga akhir zaman.
Imam Ahmad membaca surat itu sambil menangis. Ia kemudian menghadiahkan gamisnya kepada Rabi’ sebagai tanda terima kasih atas kabar gembira itu. Saat kembali ke Mesir, Rabi’ menyerahkan surat balasan kepada Imam Syafi’i dan menceritakan tentang hadiah gamis tersebut. Imam Syafi’i pun meminta agar gamis itu dibasuh dan air basuhannya diberikan kepadanya untuk bertabarruk.
Dalam dunia tasawuf, tabarruk ini berkembang menjadi bagian dari pendekatan spiritualisme: mengambil berkah dari para wali, guru, orang-orang shaleh dan peninggalannya. terlepas dari keyakinan bahwa keberkahan itu bersumber dari Allah, namun dapat mengalir melalui hamba-hamba yang dikasihi-Nya.
Di pesantren-pesantren tradisional, tradisi tabarruk ini hidup di kalangan para santri dan praktiknya pun beragam: mencium tangan, makan dan minum bekas kiyai, pemberian bekas sorban, kitab, dan apapun yang pernah dipegang kiyai para santri akan menyimpannya dan menjaganya. Lantas mengapa para santri ini mau melakukan hal tersebut? karena hal itu merupakan manifestasi bentuk perwujudan rasa cinta seorang murid kepada gurunya. tradisi tabarruk ini dasarnya adalah ungkapan cinta seorang santri kepada kiyainya. seperti ungkapan para sufi yang terkenal dalam tradisi tasawuf:
لولا المربي ما عرفت ربي
“Seandainya bukan karena pembimbingku (guru ruhani), niscaya aku tidak akan mengenal Tuhanku”
Ungkapan ini ingin menunjukkan bahwa bimbingan seorang mursyid sangat penting dalam perjalanan mengenal Allah (ma’rifatullah), karena mursyid membimbing murid secara ruhaniyah, bukan hanya secara lahiriah atau akademik. Ada beberapa pesantren yang didalamnya melakukan tabarruk yang terlihat secara berlebihan seperti meminum air cucian bekas kaki kiyai. Dalam segi medis beberapa orang mungkin menganggapnya tidak higienis dan membawa penyakit. Namun sebagian santri di pesantren tradisional tidak melihat praktik tabarruk ini dari sisi medis, melainkan dari sudut pandang batin dan spiritualitas. Bagi mereka, jika seseorang melihatnya sebagai tindakan kotor, berarti hanya memandang dari permukaan saja, sementara yang mereka cari adalah niat dan barakah di baliknya. Tidak semua pesantren mengajarkan hal ini secara formal; lebih sering muncul sebagai praktik kebiasaan individu yang lahir dari rasa hormat mendalam. Keyakinan mereka berpijak pada pandangan bahwa barakah mengandung nur (cahaya ruhani), bukan zat biologis, sehingga tidak bisa diukur dengan logika medis modern. Bagi mereka, barakah dalam logika tasawuf adalah bagian dari realitas ruhani yang hanya bisa dipahami dengan hati yang tunduk dan penuh adab.
Nilai Spiritualitas di tengah perbedaan Interpretasi Kekuasaan
Munculnya kritik terhadap Tabarruk yang dianggap sebagai feodalistik oleh sebagian orang karena memahami agama secara skriptural literal atau modernis yang menolak unsur-unsur simbolik atau spiritualitas tradisional. Mereka juga menganggap bahwa tabarruk bisa berubah menjadi alat kontrol sosial dan simbol hierarki yang kaku. Munculnya istilah “Feodalisme Pesantren” menggambarkan ketimpangan relasi antara kiyai dan santri. Ada kekhawatiran bahwa sebagian tokoh agama memanfaatkan karismanya untuk mengontrol santri dengan perlakuan berlebih atau santri tidak dapat membedakan antara adab dan kultus individu. sehingga praktik tabarruk ini tidak lagi murni sebagai ekspresi spiritual, melainkan sistem yang melanggengkan ketundukan tanpa kritik.
Feodalisme adalah sistem sosial dimana seseorang memiliki kekuasaan mutlak terhadap lainnya. Sedangkan pesantren bukanlah lembaga kekuasaan melainkan ruang pendidikan spiritual yang dibangun atas dasar ta’dzim (penghormatan) bukan penaklukan. Tradisi tabarruk dan sistem di pesantren berbeda jauh dari sistem feodalisme. Kiyai di pesantren bukan sebagai raja atau penguasa yang memiliki kekuasaan absolut, melainkan sebagai murabbi dalam spiritualitas. Hubungan antara Kiyai – Santri bukan patronasi (Patron – Klien) yang dibangun atas dasar dominasi, melainkan hubungan etika spiritualitas. Dalam islam, adab sangat dijunjung tinggi melebihi ilmu. Orang berilmu belum tentu beradab, tapi orang beradab selalu mencerminkan ilmu dalam akhlaknya. KH. Hasyim Asy‘ari dalam Adab al-‘Ālim wa al-Muta‘allim menyebutkan dua belas adab murid terhadap guru, yang menjadi dasar relasi santri-kiai di pesantren.
- Mendahulukan pertimbangan akal dan shalat istikharah dalam memilih guru, agar bisa mengambil ilmu dan akhlak yang baik darinya.
- Bersungguh-sungguh mencari guru (pendidik) yang dapat menjadi teladan.
- Patuh terhadap guru dalam segala hal serta tidak keluar dari nasihat dan aturan-aturannya.
- Memandang guru sebagai sosok yang dimuliakan dan memiliki derajat sempurna.
- Menyadari kewajiban berterima kasih kepada guru, tidak melupakan jasanya, dan selalu mendoakannya.
- Bersabar terhadap kondisi batin guru, termasuk ketika sedang marah atau menunjukkan sikap yang kurang menyenangkan.
- Tidak menemui guru di luar majelis ta‘lim tanpa izin, baik dalam kondisi sendiri atau bersama orang lain.
- Duduk di hadapan guru dengan adab: seperti duduk tahiyat awal atau akhir, penuh tawadhu‘, khusyuk, dan tenang.
- Bertutur kata baik kepada guru.
- Meskipun sudah tahu isi pelajaran, murid tetap wajib menyimak penjelasan guru dengan penuh perhatian.
- Tidak mendahului atau menyela guru saat menjelaskan persoalan atau menjawab pertanyaan.
- Menerima pemberian dari guru dengan tangan kanan dan adab yang baik.
Hal ini memperlihatkan bahwa relasi santri–kiai bukanlah relasi kuasa semata, melainkan dibangun atas dasar adab, penghormatan, dan pencarian keberkahan secara etis, bukan kultus. Nilai-nilai ini menunjukkan bahwa ta’dzim kepada guru adalah bentuk pendidikan karakter, bukan sistem penindasan.
Kesimpulannya, tabarruk adalah warisan Islam yang mengandung makna cinta, adab, dan kerinduan akan keberkahan, yang telah hidup sejak masa Nabi hingga para ulama hari ini. Praktik ini sulit dipahami oleh masyarakat awam yang tidak mempelajari ilmu tasawuf, terutama ketika dilihat melalui kacamata Barat dan perspektif sekularisme yang cenderung menilai relasi antara guru dan murid secara kaku, dalam bingkai kesetaraan formal semata. Di pesantren, hubungan antara santri dan kiai dibangun di atas rasa hormat yang mendalam, di mana keberkahan diyakini lahir dari ketulusan, kerendahan hati, dan penghormatan terhadap para pewaris ilmu. Namun, maraknya berbagai konten di media sosial telah menyebabkan praktik tabarruk sering disalahpahami dan dinilai menyesatkan. Meskipun terdapat sejumlah video yang menampilkan praktik tabarruk yang bertentangan dengan syariat Islam—seperti menghalalkan yang haram dan perilaku berlebihan yang mengandung syirik —hal itu tidak dapat dijadikan alasan untuk menghujat seluruh pesantren yang menjalankan tabarruk sesuai dengan nilai-nilai spiritualitas tasawuf. Untuk itu, bagi umat Islam selayaknya agar kritis dalam menyaring informasi di media massa, baik film atau informasi lainnya agar cerdas menyikapi sesuatu yang bersifat viral.
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.
Referensi:
KH. Hasyim Asy‘ari, Adab al-‘Ālim wa al-Muta‘allim, ed. Muhammad ‘Aṣṣāf Ḥāfiẓ (Beirut: Maktabat al-Turāth al-Islāmī, 1320 H), halaman 29.
Balya, Robert. “Dianggap Feodal, Ini Cara Pesantren Mendidik dengan Nilai, Bukan Kuasa.” Kumparan, 5 Oktober 2023. Diakses 2 Juni 2025. https://kumparan.com/robert-balya-1738493593102800088/dianggap-feodal-ini-cara-pesantren-mendidik-dengan-nilai-bukan-kuasa-259Eq7wwAIT/full.
Haijar, Hisham bin Muhammad. At-Tabarruk bi al-Salihin. Casablanca: Dar al-Risalat al-Hadithiyya, tanpa tahun.
Labib, M. Mughni. “Pesantren dan Tuduhan Feodalisme.” NU Jateng, 26 Februari 2025. https://jateng.nu.or.id/opini/pesantren-dan-tuduhan-feodalisme-MAiCT.
Al-Yafi‘i, Abdul Fattah bin Shalih Qudaysh. At-Tabarruk bi ash-Shalihin Bayna al-Mujizin wa al-Mani‘in: Dirasah Muqaranah. Damaskus: Resalah Publishers. Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail. Shahih al-Bukhari, no. 3620. Lihat pula versi terjemah dalam “Hukum Tabaruk atau Ngalap Berkah.” NU Online. Diakses 27 Mei 2025. https://kepri.nu.or.id/keislaman/hukum-tabaruk-atau-ngalap-berkah-nulcV.