Gia Ayu Fita
Ankara University (Dr.)/ International Relations Department
Darmawan Wicaksono
ASBÜ (Dr.)/ New Media and Communication Department
Keberhasilan penggulingan rezim Asaad telah menyebabkan terganggunya jalur logistik Hizbullah, yang selama ini berperan sebagai penyeimbang sekaligus penghalang bagi Israel untuk sepenuhnya memusatkan perhatian pada Gaza. Dengan runtuhnya kekuasaan Asaad, posisi Hizbullah menjadi sangat rentan, sehingga Gaza diprediksi akan menjadi target strategis bagi Israel. Dalam perspektif teori Balance of Power, Hizbullah selama ini berfungsi sebagai penyeimbang kekuatan di kawasan Levant, khususnya dalam menghadapi dominasi Israel. Dengan demikian, keruntuhan rezim Asaad diperkirakan akan merusak stabilitas kekuatan di kawasan tersebut.
Dalam konteks geopolitik, negara-negara di sekitar Suriah berpotensi memanfaatkan situasi ini dengan merebut wilayah-wilayah strategis Suriah yang berbatasan langsung dengan mereka untuk dijadikan zona penyangga (buffer zone). Pendekatan ini konsisten dengan teori geopolitik klasik, yang memandang wilayah strategis sebagai instrumen penting untuk mengontrol dan memperluas pengaruh kawasan. Pembentukan zona penyangga mencerminkan strategi geopolitik tradisional, di mana wilayah perbatasan dijadikan alat untuk mempertahankan atau meningkatkan kekuasaan geopolitik. Peluang ini dianggap strategis dan mendesak, namun hanya Israel dan Turki yang tampaknya memiliki kapasitas dan niat untuk mengambil langkah tersebut. Sementara itu, Hizbullah kemungkinan besar akan mengadopsi strategi milisi tersembunyi untuk mempertahankan posisinya. Di sisi lain, Yordania tampaknya tidak menunjukkan ambisi serupa meskipun memiliki kapasitas, sedangkan Irak memiliki keinginan politik tetapi kekurangan sumber daya untuk melaksanakannya. Bagi Israel, penguasaan wilayah strategis Suriah, termasuk Gunung Hermon, memiliki nilai militer yang signifikan karena posisinya yang tinggi dan strategis, memungkinkan instalasi radar dengan cakupan luas hingga ke Damaskus. Selain itu, wilayah ini juga berpotensi digunakan untuk memperluas permukiman Israel, jika otoritas Israel memutuskan untuk mengizinkan pemukim (settlers) menetap di area tersebut. Pendekatan ini tidak hanya memperkuat pertahanan militer tetapi juga mencerminkan upaya geopolitik untuk memperluas kontrol teritorial dalam konteks keamanan nasional dan dominasi regional.
Israel dan Turki, dalam upayanya menciptakan zona penyangga, mencerminkan pendekatan realisme dalam hubungan internasional, yang menempatkan keamanan nasional dan kepentingan negara sebagai prioritas utama. Hal ini juga terlihat dalam kontrol terhadap sumber daya ekonomi strategis Suriah, seperti ladang minyak dan gandum yang saat ini dikuasai Pasukan Demokratik Suriah (SDF). Tanpa kendali atas wilayah ini, Suriah akan tetap berada dalam kondisi ekonomi yang terpuruk. Kekurangan dana membuat rezim Asaad tidak mampu membeli loyalitas militer atau mempertahankan stabilitas domestik, sehingga mempercepat keruntuhannya. Militer tanpa gaji yang memadai akan kehilangan kesetiaannya, sementara rakyat tanpa subsidi sosial cenderung memberontak. Sejarah menunjukkan bahwa Suriah di bawah pemerintahan keluarga Asaad memainkan peran kunci sebagai penyeimbang terhadap dominasi Israel di kawasan, sementara negara-negara Arab lainnya, seperti Yordania dan Mesir, cenderung memiliki pengaruh yang terbatas. Hizbullah, sebagai penyeimbang terhadap dominasi Israel, mencerminkan logika keseimbangan kekuatan di mana aktor negara atau non-negara membentuk aliansi untuk mencegah dominasi satu pihak.
Pendekatan realisme menyarankan bahwa aktor negara, termasuk Turki dan Israel, seharusnya memanfaatkan kekosongan kekuasaan di Suriah dalam mengamankan kepentingan nasionalnya di tengah kondisi anarki internasional. Kegagalan rezim Asaad dalam menjaga stabilitas domestik dan ekonomi mencerminkan karakteristik negara lemah (weak state), di mana pemerintah tidak mampu memberikan layanan publik, menjamin keamanan, atau mengontrol wilayah secara efektif. Runtuhnya ekonomi dan pemerintahan yang tidak berfungsi semakin mempertegas status Suriah sebagai negara yang gagal (failed state), yang rentan terhadap fragmentasi internal dan pengaruh eksternal.
Penyerahan kendali atas Suriah kepada Turki dapat dilihat sebagai langkah taktis, mengingat posisi Turki yang lebih stabil dan penting. Namun, kebencian historis rakyat Arab Suriah terhadap Turki membuat skenario ini sulit terwujud, meskipun Rusia mungkin menilai kepentingannya lebih terjamin di bawah pengaruh Erdoğan.
Pertanyaan utamanya adalah apakah Turki memiliki sumber daya yang cukup untuk terlibat dalam konflik ini dalam jangka panjang?